Kedudukan Raja Ali Haji (w. 1873) dalam dunia kajian susastra dan tata negara Melayu sama seperti Firdausi (Ferdowsi, w. 1020) dalam dunia kajian susastra Persia, atau Yunus Emre (w. 1320) dalam dunia kajian yang sama di dunia Turki. Mereka menjadi simbol keotentikan dan puncak kegemilangan karya sastra bagi masing-masing bangsa itu.
Raja Ali Haji dicatat sebagai pelopor kebangkitan bahasa dan susastra Melayu modern. Ia mengarang “Bustân al-Kâtibîn” yang merupakan kitab pusaka gramatika bahasa Melayu yang lengkap, mengarang puisi “Gurindam Dua Belas” yang legendaris (serupa Firdausi mengarang kitab puisi ‘Sahnameh’ [Kitab Raja-Raja] yang fenomenal), juga mengarang “Tsamrah al-Muhimmah” yang merupakan kitab pusaka tata negara Melayu-Nusantara.
Kitab terakhir inilah yang akan kita ulas, yaitu “Tsamrah al-Muhimmah”. Kitab ini merupakan kitab yang mengkaji tuntunan etika politik, tata negara, dan siasat mengatur pemerintahan yang ditulis Raja Ali Haji. Keberadaan kitab ini sangat penting, sehingga menjadi bahan bacaan wajib dan pedoman utama bagi raja-raja Nusantara, khususnya raja-raja Melayu (Sumatra dan Semenanjung).
Kitab tersebut berjudul lengkap “Tsamrah al-Muhimmah [fî] Dhiyâfah al-Umarâ wa al-Kibriyâ li Ahl al-Mahkamah” (Buah-Buahan yang Lezat yang Dihidangkan untuk Para Pengeran dan Petinggi Pengatur Negeri). Ditulis dalam bahasa Melayu beraksara Arab (Melayu-Jawi) dan selesai pada tahun 1275 H (1859 M), dan dicetak pada tahun 1304 H (1886 M).
Tema etika politik, tata negara, dan siasat mengatur pemerintahan merupakan tema yang penting namun jarang ditulis oleh para ulama Nusantara. Dalam istilah keilmuan Islam modern, tema kajian ini disebut dengan “al-fiqh al-siyâsî” (ilmu politik).
Sepanjang rentang sejarah intelektual Islam, ada banyak kitab bertema etika politik dan tata negara yang ditulis oleh para cendekiawan Muslim sebagai persembahan sekaligus pedoman bagi para penguasa di zamannya, juga setelahnya. Di antara kitab-kitab tersebut adalah “al-Ahkâm al-Sulthâniyyah” (Kitab Tata Negara) karangan al-Mâwardî (w. 1058), “Siyâsatnameh” (Kitab Politik) karangan Nizhâm al-Muluk (w. 1072), juga “Nashîhah al-Mulûk” (Nasehat Raja-Raja) karangan Hujjatul Islâm al-Imâm al-Ghazzâlî (w. 1111), dan lain-lain.
Di dunia Melayu, kitab dengan tema ini pernah ditulis oleh Syaikh Bukhârî al-Jauharî al-Âsyî dari Kesultanan Aceh, yaitu “Tâj al-Salâthîn” (Mahkota Raja-Raja), yang selesai ditulis pada tahun 1603 M pada masa Sultan Sayyid al-Mukammil (w. 1604). “Tâj al-Salâthîn” lalu disusul oleh “Bustân al-Salâthîn” (Taman Raja-Raja) yang dikarang oleh Syaikh Nûr al-Dîn al-Rânîrî pada tahun 1636. Termasuk kitab “Tsamrah al-Muhimmah” karangan Raja Ali Haji (1859).
Raja Ali Haji menulis; “Bermula makna raja itu, jika dikata raja itu dengan makna khalifah yaitu khalifah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam pada mendirikan Islam dam menghukumkan akan segala hamba Allah dengan hukuman Quran dan Hadis dan Ijma’. Jika dikata raja itu dengan makna Sultan maka yaitu mengeraskan hukuman atas segala rakyatnya dengan hukuman yang adil, yang datang dari Allah dan rasulnya. Dan jika dikata raja itu dengan makna Imam, maka itu ikutan segala rakyatnya pada segala hukuman dan perintahnya dan tiada membawa kepada kufur dan maksiat.”
Beliau meneruskan; “Seorang raja yang jauh antara agama dan perbuatannya, tidak memperhatikan keperluan masyarakatnya, dan gagal memperbaiki nasib mereka, tidak dapat diterima sebagai penguasa lagi.”
Baca Juga: Kitab Himpunan Hadis Karya Syekh Muhammad Yunus Tuanku Sasak Pasaman
Kitab seperti “Tsamrah al-Muhimmah” dan kitab-kitab tentang etika politik dan tata negara karya ulam Nusantara lainnya penting bukan hanya untuk diselamatkan, tetapi juga diajarkan bagi para pelajar di seluruh Nusantara, menimbang perlunya para generasi bangsa ini dibekali tentang ilmu tersebut. Terlebih lagi di masa-masa seperti sekarang ini, ketika perilaku perpolitikan di dalam negeri yang dicerminkan amatlah jauh dari etika dan cita-cita yang diharapkan.
Jakarta, Oktober 2016
Leave a Review