scentivaid mycapturer thelightindonesia

Ulakan Situs Ziarah

ziarah ke ulakan
Ilustrasi/dok. harianhaluan.com

Kemarin, Minggu, saya bersama sekitar 2000 jamaah dari Limapuluh Kota datang ke Ulakan. Salah satu tujuannya ialah untuk berziarah ke makam ulama besar, Syekh Burhanuddin Ulakan. Meskipun Tuanku Syekh tersebut ialah sufi besar Thariqat Syattariyah, jamaah yang sebagian besar pengamal Thariqat Naqsyabandiyah Khalidiyah itu tetap antusias layaknya pergi mengunjungi guru sendiri.

Begitu juga saya, yang sedari belia sudah menginisiasikan diri dalam thariqat tersebut, dan kemudian diberi amanah sebagai khadim Naqsyabandiyah, diiringi Thariqat Sammaniyah Khalwatiyah. Persoalan ordo tak lagi jadi tilikan, sebab, asalkan ulama sufi Asy’ariyah, maka semua itu adalah guru belaka. Di sini saya kurang respek terhadap sementara orang yang telah diangkat oleh jamaah menjadi guru yang merendahkan thariqat lain selain yang diamalkannya.

Pernah satu ketika saya bertemu orang yang konon telah ‘tuangku’, dari mulutnya keluar kata-kata: “thariqat Abu Bakar itu thariqat orang kaya, kalau thariqat Ali itu-kan orang miskin.” Siyaq kalamnya ingin merendahkan Thariqat Naqsyabandiyah. Seketika saya tidak respek padanya. Sosok bergigi besi, perokok berat, dan bercincin besar itu saya tinggalkan. Ia bukan tuangku.

Ulakan, pernah saya tinggali agak lama. Selain ‘hobi’ masa kecil, memburu manuskrip (yang sekarang saya tidak tertarik lagi hal ini), tinggal di Ulakan dengan keinginan untuk belajar banyak tentang Syattariyah dan kehidupan para tuanku di daerah ini. Saya cukup banyak menjalin hubungan dengan tuanku-tuanku, dan bercerita banyak hal (kalau saja cerita-cerita ini ditulis tentu menjadi sebuah buku tebal). Kehidupan yang unik, tentang ilmu, tradisi, sosial keagamaan, sangat menarik untuk diperhatikan. Terutama tentang korelasi ‘surau’, ‘makam’, dan ‘tuanku’, sebuah jalinan yang sangat harmonis, sesuatu yang ‘indah’ bila dilihat dari kaca mata peneliti.

Kemarin, saya kembali ke Ulakan untuk ke sekian kalinya. Sesuatu yang tetap sama, seperti itu, tak pernah berubah, ialah antusias berziarah. Masalah tawassul dan bina’ maqbarah tidak akan kita bicarakan, cukup sudah kitab ‘Kasyfus Sutur’ karya Muhaddits Mesir Syekh Mahmud Sa’id Mamduh sebagai bacaan bagi yang insaf. Hal yang mungkin patut dibicarakan ialah fenomena ziarah, bagaimana sosok ulama yang telah wafat sekitar 5 abad yang lalu, tetap menjadi magnet yang tidak pernah kehilangan kekuatan menarik jamaah, di tengah gempuran modernisme dan salafi-wahabi yang tengah menjadi-jadi.

Baca Juga: Tarekat Naqsyabandiyah dan Konferensi di Bukittinggi Tahun 1954

Acara tahunan, Ba-safa, tetap menjadi event penting di Ulakan. Kegiatan ini bukan lagi sebagai acara regional, lebih dari itu, nasional sifatnya. Jamaah yang hadir, ribuan, datang silih berganti tanpa diundang. Mengapa hal itu bisa terjadi? Satu poin yang dapat dikemukakan, ajaran tentang menghormati guru yang belum pudar di surau-surau, yang oleh sementara kalangan disebut tradisional itu. Keberadaan guru tetap pada posisinya, walaupun ia sudah wafat, sosok tidak tergantikan, meskipun seratus badal dan khalifah dengan beribu kepandaian dan kepintaran diangkat sebagai pengganti.

Fenomena lain, ialah ‘makam’ yang tidak mengenal kata titik. Banyak penziarah datang menyampaikan nazar kepada juru kunci yang tetap setia di sisi makam. Berbagai persoalan, beragam problem, berbilang penyakit, namun itu semua tidak dijawab dengan kata-kata titik; setiap persoalan ada jalan keluar, setiap penyakit ada obatnya. Bayangkan, dengan meminta penjaga makam berdoa (tentunya kepada Allah ‘Azza wa-Jalla) di sisi makam, harapan-harapan yang sebelumnya sudah pupus tetap ada, penyakit-penyakit yang telah divonis dokter bahwa tidak ada obatnya tetap mempunyai obat, harapan dan obat itu adalah doa. Betapa sebuah makam telah menyambung harapan, telah menjadi ‘obat’ majazi tanpa tanda titik.

Syekh sudah wafat ratusan tahun yang lalu, tapi ia masih dapat memberi rezeki orang-orang di daerah itu sampai sekarang. Geliat ekonomi meningkat; mereka yang dianggap papa, selalu mendapat limpahan rezeki, meskipun hanya sekadar melayani penziarah yang datang. Yang telah wafat tetap mampu memberikan manfaat bagi yang hidup, ungkapan ini kira-kira cocok untuk Tuanku Ulakan.

Ini sebagian pandangan mata, di Ulakan. Coretan ini ditulis dalam semangat mempersiapkan bahan untuk ‘Seminar Nasional’ dengan tema “Wisata Sejarah dan Budaya”, di kampus Bukittinggi, Rabu besok. Tidak habis pikir, sosok yang belum menyumbangkan apa-apa pada forum regional ini akan menjadi pemateri untuk tingkat nasional. Apapun itu, tetap di-‘koyai’ juga.

Baca Juga: Syekh Sulaiman Arrasuli al-Khalidi Canduang Pendekar Thariqat Naqsyabandiyah Khalidiyah

Foto di bawah ini adalah manuskrip peninggalan Syekh Burhanuddin, berbahasa Melayu-Minangkabau, berjudul Tadzkirat al-Ghabi. Karena saya sudah meninggalkan ‘padang’, dokumen-dokumen yang diperoleh ketika di ‘padang’ tidak akan saya pergunakan pada tataran akademik; selain sebagai pemanis saja, sekadar memujuk mata.[]

Mungka, 23 April 2018


Redaksi tarbiyahislamiyah.id menerima sumbangan tulisan berupa esai, puisi dan cerpen. Naskah diketik rapi, mencantumkan biodata diri, dan dikirim ke email: redaksi.tarbiyahislamiyah@gmail.com


Apria Putra
Alumni Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah, Pengampu Studi Naskah Pendidikan/Filologi Islam, IAIN Bukittinggi dan Pengajar pada beberapa pesantren di Lima Puluh Kota