Sekitar tahun 1939, dalam perjalanan ke sebuah pengajian akbar di Pesisir Selatan, Sumatera Barat, beristirahat dua tokoh ulama; Inyiak Canduang dan Inyiak Doktor. Keduanya diundang bersama untuk mengisi pengajian di daerah tersebut. Letih mengendarai auto, mereka melepas lelah dengan bercerita kira-kira setengah jam lamanya. Pembicaraan ini selanjutnya dikenang sebagai tonggak awal janji setia dua ulama besar Sumatera Barat, dari dua golongan besar pula dalam Islam, untuk menghindari konflik keagamaan yang acap terjadi.
Kisah ini diceritakan dengan baik oleh KH. Bahruddin Rusli, anak kandung Syekh Sulaiman Arrasuli, dalam bukunya Ayah Kita (1978). Syekh Sulaiman Arrasuli adalah nama asli Inyiak Canduang, salah satu dua Inyiak yang berjanji. Inyiak satunya lagi, Inyiak Doktor, adalah panggilan akrab Dr. H. Abdul Karim Amrullah. Beliau adalah ayah kandung Buya Hamka. Keduanya dipanggil dengan sebutan “Inyiak”, yang dalam kamus bahasa Minangkabau berarti tua, karena pengalamannya dalam ilmu dan agama. Kata Canduang mewakili nama kampung di kaki gunung Marapi, tempat lahirnya Syekh Sulaiman. Doktor adalah pangkat ilmu yang disematkan pada ayah buya Hamka. Keduanya adalah ulama penting dalam sejarah Islam Indonesia, khususnya Sumatera Barat. Keduanya juga mewakili dua kelompok pemikir yang tak jarang bersilang pendapat dalam memutuskan soal agama yang kerap dibicarakan ketika itu. Inyiak Doktor mewakili kaum muda, dan Inyiak Canduang mewakili kaum tua. Pembicaraan dimulai dengan mengenang tahun-tahun berat sekitar 1920-an. Dimana masa itu perdebatan ulama amat kencang, bahkan sampai di tempat umum. Salah satu yang diingat adalah perbebatan yang disponsori Pamong dan Demang. Inyiak Canduang dan Inyiak Doktor maju membela kelompok masing-masing. Soal yang diperdebatkan meliputi hukum qunut salat subuh hingga hukum memakai dasi dan berpotret. Golongan muda gigih mefatwakan qunut adalah perkara bid’ah dan golongan tua mengatakan berdasi dan berpotret adalah haram, karena menyerupai perangai orang kafir. Tentu saja perdebatan itu bukan adu mulut asal mangap saja. Berbagai dalil dan referensi dihadirkan demi menguatkan fatwa, namun paham tak juga menyatu.

Setelah lewat sepuluh tahun lamanya dari debat itu, keduamya menyadari hal yang lebih besar dari perkara beda pendapat, yakni perpecahan dalam umat Islam. Bahruddin Rusli menceritakan, tak sedikit suami-istri berpisah karena persoalan khilafiyah dan banyak ditemui perbuatan amoral sebagai akibat lanjut fatwa yang disampaikan seorang ulama.
Ketika soal itu disampaikan Inyiak Doktor, Inyiak Canduang pun mengakui. Perdebatan ulama nyata telah menciptakan perpecahan. Ulama tak lepas adalah orang-orang yang bertanggungjawab. “Lalu bagaimana timbangan Tuan Syekh untuk menanggulangi hal tersebut?,” tanya Inyiak Doktor.
“Kalau Tuan memang telah satu tekad, bisa saja,” balas Inyiak Canduang.
“Bagaimana caranya?”
“Mari kita berjanji di muka Tuhan akan menyiarkan agama dimana saja, kapan saja. Bahwa masalah khilafiyah tetap menjadi masalah khilafiyah, bukanlah masalah bid’ah”.
Usulan Syekh Sulaiman amat mengena di hati Inyiak Doktor. Memang jika diperhatikan lebih cermat usulan tersebut tidak berarti banyak dalam menjawab persoalan agama yang diperdebatkan. Namun usulan tersebut mencerminkan perubahan dalam memposisikan persoalan agama. Inyiak Canduang secara tidak langsung mengatakan, setiap perdebatan ulama berhenti pada taraf memposisikan persoalan sebagai perkara yang belum final. Dalam perkara yang diperdebatkan (khilafiyah), seorang ulama jangan sampai mengklaim pendapatnya sebagai fatwa yang benar dan pendapat yang lain salah.
“Mari kita berjanji di muka Tuhan akan menyiarkan agama dimana saja, kapan saja. Bahwa masalah khilafiyah tetap menjadi masalah khilafiyah, bukanlah masalah bid’ah”.
Konflik dan Peran Ulama Indonesia
Penggalan kisah di atas seolah oase dalam padang konflik di negeri ini. Kini, setelah puluhan tahun berlalu dari percakapan dua tokoh, konflik sosial berlatar agama masih menjadi isu panas. Di antara konflik sosial yang terjadi, konflik berlatar belakang agama adalah yang paling berbahaya. Demikian disampaikan Kapolri beberapa waktu lalu (kompas.com/04-08-16).
Seolah menghidupkan lampu kuning, April lalu, Kapolri ingatkan kembali masyarakat Indonesia dengan mengatakan konflik sosial adalah persoalan utama bangsa (tempo.co/26-04-2017). Melihat akibat konflik dapat menghambat banyak sektor pembangunan bangsa, mulai ekonomi hingga kultural, statemen Kapolri tak dapat dianggap angin lalu saja. Pendekatan yang dilakukan untuk meredam potensinya pun telah banyak dilakukan, mulai dari sosialisasi, pemetaan potensi di masing-masing wilayah, hingga pada membangun dialog antartokoh. Mengingat salah satu potensi konflik sosial adalah perbedaan dalam menjalankan amalan agama, ulama adalah orang-orang yang tidak pernah absen dalam dialog. Mengikutsertakan ulama dalam setiap dialog kebangsaan sudah selayaknya terus diagendakan. Ketokohan ulama adalah modal sosial unik yang tidak dimiliki tokoh lain. Ulama berbeda, karena mereka memproduksi pengetahuan agama. Dalam kehidupan sosial, menggunakan cara pikir Pierre Bourdieu (1930-2002), ulama adalah subyek intelektual yang memiliki sekian porsi modal sosial dalam semesta kultural. Modal sosial tersebut membuat ulama memiliki hak istimewa untuk serta mengejewantahkan pendapatnya dalam keputusan hidup sosial masyarakat. Salah satu dari hak istimewa tersebut adalah fatwa.

Keampuhan hak istimewa tersebut seolah terbenarkan dalam realita aksi massa yang membanjiri Jakarta belakangan ini. Kita dapat menjadi saksi bagaimana ulama mempertontonkan perannya dalam mengorganisir massa, dengan seruan juga dengan potretnya dalam poster-poster pemberitahuan. Beberapa kali aksi massa di Jakarta, terlepas dari isu yang diperjuangkannya, menunjukkan bahwa ulama memiliki dua “peran” dalam konflik sosial; Menjadi peredam konflik atau ikut terlibat dalam menciptakan konflik sosia
Baca Juga: menilai ketepatan berbahasa: arena dan kuasa simbolis
Beberapa kali aksi massa di Jakarta, terlepas dari isu yang diperjuangkannya, menunjukkan bahwa ulama memiliki dua “peran” dalam konflik sosial; Menjadi peredam konflik atau ikut terlibat dalam menciptakan konflik sosial
Peran ulama bukanlah barang baru dalam catatan potensi konflik sosial di Indonesia. Memandang konflik sebagai pertingkaian kelompok masyarakat semata tentulah tidak arif dalam memetakan persoalannya. Kelompok masyarakat membutuhkan legitimasi dalam menjalankan aksi kulturalnya. Di sinilah peran ulama penjadi pembicaraan yang tidak bisa dilepaskan dalam konflik sosial, terlebih lagi jika konflik tersebut adalah pertikaian yang dekat dengan isu-isu keagamaan.
Model-model Ulama
Memahami peran krusial ulama dalam konflik sosial menghantarkan kita pada ontologi ulama. Siapakah ulama? Menyebut ulama sebagai orang yang paham agama saja tentulah tak cukup. Demi mendapatkan gambaran lebih terang tentang kata itu, Inyiak Canduang menjabarkan model-model ulama dalam bukunya, Pedoman Hidup di Alam Minangkabau (1930). Pembagian model ulama tidak didasarkan pada tingkat popularitas seorang ulama di tengah masyarakatnya. Ulama dibagi lebih pada kepribadiannya ketika berhadapan dengan masyarakat dan fatwanya.
Pertama, ulama matahari. Ini adalah ulama yang memberi manfaat kepada seluruh lapisan masyarakat. Ia tidak membeda-bedakan penerima manfaatnya. Laiknya matahari, Ia menerangi seisi jagat, tidak merusak dan membinasakan. Dalam persoalan masyarakat pun ulama ini menjadi tempat bertanya masyarakat. Kedua, ulama sumbu lampu. Demikian adalah analogi ulama yang banyak berfatwa untuk orang banyak. Fatwa dan pendapatnya baik dan bermanfaat. Sayangnya ia sendiri tidak melaksanakan pahamnya tersebut. Ulama ini lebih banyak mengomentari, namun lupa memberikan contoh kepada orang lain.
Ketiga, ulama pamacah (Pemecah belah, bahasa Minangkabau). Mereka adalah ulama yang suka pemperkeruh suasana. Ulama yang suka memecah belah masyarakat dengan pertikaian. Nan pamacah, seperti digambarkan Inyiak Canduang sebagai ulama yang suka meresahkan masyarakat dan pemerintah dengan fatwa-fatwanya. Keempat, ulama lancah (berlumpur karena banyak berjalan). Ulama ini kerjanya hanya berpergian dari satu tempat ke tempat lain. Ia tidak fokus pada umatnya. Ia meninggalkan umatnya yang satu dan beralih ke umat yang lain, begitu seterusnya. Kelima, ulama nan bak Kancah (bejana). Mereka adalah orang yang berilmu dan mengetahui baik-buruknya sebuah perkara. Tapi mereka lebih banyak diam. Bejana adalah analogi wadah yang hanya menerima saja. Ulama ini lebih suka memendam pengetahuannya sendiri, bahkan ketika dimintai pendapatnya.
Tidak berhenti di situ, pendiri Persatuan Tarbiyah Islamiyah ini pun mengatakan, kita dapat temukan ulama bak busa sabun dan ulama panggauik (suka mengambil keuntungan). Busa sabun adalah ejekan untuk ulama yang sedikit ilmu namun pandai melebih-lebihkan penjelasannya. Dalam pengajian misalnya, Ia hanya sedikit memberikan ilmu. Panjang penjelasannya tidak mencerminkan inti persoalan yang dimaksudkan. Ulama ini dikenal bukan karena kedalaman ilmunya, melainkan karena bualnya yang berlebih-lebihan. Terakhir, ulama panggauik. Mereka alim yang menjual agama demi dunia. Dibandingkan gigih mencerdaskan umat, ulama ini lebih suka menggunakan ilmunya sebagai jalan meraup keuntungan pribadi.
Meski dijelaskan dengan terminologi Minangkabau, model-model ulama di atas dapat ditemui di setiap lokus budaya nusantara. Kita juga tidak dapat menutup mata bahwa model-model ulama tersebut hadir di ruang publik kita saat ini. Apa yang disampaikan Inyiak Canduang dengan tujuh model ulama di atas menunjukkan pemahaman yang lebih terang tentang ulama; bahwa mereka tak selalu manusia suci tanpa kepentingan. Ulama sama seperti manusia lainnya. Mereka ditinggikan dalam strata sosial karena ilmu yang dimilikinya. Namun lagi-lagi, tingginya ilmu tidak mencerminkan baiknya motif, prinsip, dan perilaku. Ini tidak terlalu mengherankan, mengingat dalam bentuk lain kita temui seorang doktor lulusan luar negeri terbaik yang ketahuan korupsi misalnya.
Ulama Berwatak Kemaslahatan
Setelah dua tokoh ulama tersebut seiya-sekata, menyadari pertikaian pendapat ulama dapat menjadi potensi konflik, janji pun dikumandangkan. Sopir auto yang menemani perjalanan didaulat menjadi saksi. Kedua ulama ini juga berniat mendeklarasikan “Perjanjian Ketuhanan (Divinal Agreement)” sebagai manifestasi kerukunan ulama. Sayangnya deklarasi perjanjian itu tak terlaksana karena Inyiak Doktor keburu “dibuang” Belanda setahun kemudian.
Setidaknya janji keduanya telah menampilkan watak kebangsaan dari dua ulama besar, dari dua paham dan organisasi yang berbeda. Inyiak Canduang dari Persatuan Tarbiyah Islamiyah dan Inyiak Doktor dari Muhammadiyah, berani keluar dari sekat organisasi dan kelompok tua-muda mereka. Watak kebangsaan itu terpatri dengan kesadaran bahwa perbedaan pendapat tidak selamanya akan menjadi perbedaan. Bahruddin Rusli menceritakan, “hanya bila bertambah umur dan ilmu banyak jua yang berubah dari muda menjadi tua atau sebaliknya, tua menjadi muda.” Demikian mengisyaratkan perbedaan pemikiran, sekat pemahaman, dan organisasi tidak dapat dijadikan indikator untuk menyalahkan pihak lain.
Inyiak Canduang tak pernah melupakan niat baik tersebut. Dalam Pedoman Hidup di Alam Minangkabau ia menulis petuah, sebagai nasehat untuk ulama. Di antara nasehatnya adalah jangan terburu-buru dalam menyampaikan fatwa dan seorang ulama mestilah memahami masyarakat yang menerima fatwa. Melihat ragamnya model ulama, dua petuah ini dapat menjadi filter bagi pendakwah untuk menyampaikan ajaran agama. Tidak terburu-buru menyampaikan fatwa adalah bentuk menahan diri ulama dengan kembali memeriksa sumber dan referensi fatwa mereka. Ketika sumber dan referensi telah diperiksa, ulama dituntut memahami masyarakat yang akan menerimannya.
Di antara nasehatnya adalah jangan terburu-buru dalam menyampaikan fatwa dan seorang ulama mestilah memahami masyarakat yang menerima fatwa.
Dalam memahami masyarakat, ketika di pondok pesanten dulu, guru-guru acapkali memberi amanat; tidak semua ilmu agama yang kamu ketahui bisa langsung diberikan seutuhnya kepada masyarakat. Demikian adalah pesan sakti agar masyarakat dapat menerima ajaran agama berlahan-lahan. Fatwa-fatwa yang mengejutkan dipertimbangkan demi kemaslahatan umat.
Kemaslahatan adalah kata kunci. Maslahat, dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia berarti sesuatu yang mendatangkan kebaikan, kegunaan dan manfaat, dapat menjadi pertimbangan ulama dalam menyampaikan fatwa. Sebuah cerita menarik terkait ini, dan acap dikisahkan di banyak pesantren, adalah kisah seorang imam yang ditanyai tentang taubat.
Suatu ketika seorang pembunuh bertanya, apakah taubatnya diterima Tuhan? Imam itu menjawab, iya diterima. Keesokan harinya, ia pun ditanyai dengan pertanyaan yang sama, Anehnya sang Imam menjawab, tidak diterima. Sahabat lain yang mengetahui dua perbedaan jawaban ini bertanya, kenapa imam memberikan jawaban yang berbeda? Imam tersebut menjawab, orang pertama yang bertanya dilihatnya sebagai orang yang tulus ingin bertaubat. Sedangkan orang kedua dilihatnya sebagai orang yang memancarkan api kemarahan dan keinginan membunuh dari matanya.
Kisah ini dapat menjadi iktibar, bagaimana seorang ulama mengerti dengan kemaslahatan umatnya. Persoalannya bukan pada manakah yang lebih betul dari kedua fatwa tersebut. Namun pada manakah fatwa yang cocok diberikan seorang ulama untuk masyarakatnya. Dengan landasan ini, ulama dapat menjalankan perannya bukan sebagai ulama pemecah belah, bukan pula sebagai alim panggauik keuntungan dari umatnya. Tapi menjadi ulama yang dapat memberikan sesuatu yang tepat-bermanfaat untuk orang banyak. Ketika ulama menjadi subyek yang tak lepas dari konflik sosial, kesuksesan penanganan konflik sosial, baik lewat dialog ataupun konsolidasi, hanya bisa diukur dari sejauh mana para ulama memunculkan dirinya sebagai intelektual yang berani keluar dari kepentingan pribadi dan golongan. Mereka adalah ulama-ulama yang memberikan pertimbangan kebaikan untuk manfaat yang lebih besar.[]
Leave a Review