scentivaid mycapturer

Ulama Minangkabau Mengajarkan Kaum Ibu Memakai Tutup Kepala

Ulama Minangkabau Mengajarkan Kaum Ibu Memakai Tutup Kepala
Ustadzah Nuraini, anak kandung dari maulana syekh Zakaria Labai Sati dari istri beliau yang di Pasar Malalo, Ilustrasi/Dok. http://ostimalalo.blogspot.com/2015/02/patriot-tarbiyah-ustadzah-nuraini-z.html

Ulama Minangkabau Mengajarkan Kaum Ibu Memakai Tutup Kepala I

Syekh Muhammad Jamil Jaho atau yang lebih dikenal dengan “Angku Jaho” (wafat 1945) ialah salah seorang ulama besar Minangkabau yang mumpuni dalam beragam bidang keilmuan agama. Beliau dikenal sebagai salah satu diantara sederetan pendiri PERTI dan menjadi “maulana” dalam organisasi itu, selain itu beliau juga mendirikan Madrasah Tarbiyah Islamiyah Jaho, sekolah agama bertingkat 7 tahun yang di dalamnya dipelajari belasan fak keilmuan Islam dengan memakai kitab-kitab mu’tabar dari matan hingga hasyiyah. Madrasah ini telah benar-benar mampu melahirkan generasi ulama yang berkiprah bahkan ke tingkat nasional.

Syekh Muhammad Jamil Jaho belajar agama dengan beberapa ulama di Minangkabau dan Makah al-Mukarramah. Di Minangkabau, salah satunya, ialah belajar kepada Syekh Abdullah “Baliau Halaban” (wafat 1926), seorang faqih Mazhab Syafi’i yang di zamannya menjadi pensyarah terbaik Tuhfaturraghibin-nya Imam Mahalli, juga seorang ushuli dan mantiqi. Sedangkan di Makah, beliau, Syekh Jaho, diantaranya belajar kepada Syekh Ahmad Khatib Minangkabawi yang juga masyhur sebagai faqih dan juga shufi. Belasan tahun lamanya Syekh Jaho di Makah. Bukan hanya belajar agama, beliau juga sempat mengajar beberapa tahun di Tanah Suci tersebut.

Baca Juga: Polemik Hukum Jilbab oleh Komunitas Nusantara di Mekah Tahun 1341 H/1922 M

*******

Syekh Jaho ialah ulama yang ‘alim, juga teguh terhadap prinsip agama, di samping sebagai pendidik ulung. Mengenai perempuan misalnya, beliau sangat fokus dalam mendidik “Kaum Ibu”, bahkan anaknya sendiri diantaranya perempuan mampu beliau bentuk/ kader sebagai ulama, beliaulah Syekhah Hj. Rabi’ah Djamili yang kemudian menikah dengan ulama besar Aceh berdarah Minangkabau, Maulana Syekh Mudo al-Khalidi Labuhan Haji Aceh.

Masih mengenai Kaum Ibu, Syekh Jaho sangat memperhatikan pendidikan/ budi pekerti. Dalam salah satu tulisannya Syekh Jaho mewanti-wanti agar seorang perempuan tidak terlalu “tenggelam” dalam berkarier. Juga dalam hal pakaian, seorang perempuan mesti memakai tutup kepala dan tidak boleh memakai baju hingga lengan (bersingsing lengan). Apabila masih membuka kepala (rambut) dan berpakaian tidak menutup aurat, maka perempuan itu telah masuk dalam maksiat atau keharaman. Sikap beliau ini merupakan sikap tegas terhadap prinsip syari’at. Sesuai dengan Mazhab Syafi’i yang beliau anut, beliau sangat memperhatikan batas-batas aurat seorang perempuan.

Ini alih aksara tulisan Syekh Jaho dalam Majalah al-Mizan. Tulisan beliau dalam Arab Melayu, dalam konteks membahas “sekolah”, sebagai berikut: “…..dan jikalau ada pada bersekolah itu membawa kepada pekerjaan maksiat, seperti perempuan-perempuan yang sudah besar (mukallafah) masih disekolahkan juga serta tidak ditutup kepalanya atau bersingsing lengan bahunya, tentu saja ketika itu bersekolah masuk di dalam pekerjaan maksiat juga (haram).

Ulama Minangkabau Mengajarkan Kaum Ibu Memakai Tutup Kepala

Ulama Minangkabau Mengajarkan Kaum Ibu untuk Memakai Tutup Kepala II

Al-Mizan ialah salah satu majalah yang tersohor di Minangkabau awal abad 20. Majalah ini digerakkan oleh Syarikatul Ihsan Maninjau di bawah asuhan Syekh Hasan Bashri, seorang ulama terkemuka di Maninjau yang waktu itu menduduki jabatan sebagai “de commissaris” Ittihad Ulama Sumatera (Persatuan Ulama Sumatera) 1916. Setelah PERTI dimufakati, pada tahun 1930, beliau kemudian menjadi salah satu sesepuh persatuan ulama-ulama tua tersebut.

Majalah al-Mizan, selain berisi karangan-karangan mengenai agama, juga memuat pertanyaan dan jawaban. Pertanyaan-pertanyaan itu berasal dari pembaca al-Mizan dari berbagai daerah, seperti dari Aceh, Tapanuli, Deli, Pekanbaru, Jambi, dan daerah-daerah Sumatera Barat sendiri. Pertanyaan ini dijawab oleh sederetan ulama besar yang menjadi penyokong Majalah al-Mizan. Diantara ulama-ulama itu ialah Syekh Muhammad Sa’ad al-Khalidi Mungka (beliau sebagai pimpinan Ittihad Ulama Sumatera), Syekh Khatib ‘Ali Padang, Syekh Muhammad Nur Bayur Maninjau, Syekh Abdullah Maninjau, Syekh Sulaiman Arrasuli Candung, Syekh Jamil Jaho Padangpanjang, dan Syekh Machudum Tanjuang Bingkuang Solok. Umumnya ulama-ulama tersebut ialah faqih dalam Mazhab Syafi’i, yang belajar agama bertahun-tahun di Tanah Suci Makah, bahkan beberapa diantaranya pernah mengajar di Makah.

Pada nomor ke-VIII Majalah al-Mizan, tepatnya 1 Syawal 1338 H (atau 18 Juni 1920), datang pertanyaan dari seseorang bernama Abdurrahman yang bermukim di Tapung, Pekan Baru, Riau. Orang tersebut mengutarakan 4 pertanyaan kepada redaksi al-Mizan, dan meminta jawaban yang terang.

Baca Juga: Jilbab dan Wajah Perempuan Muslim di Indonesia

Ulama Minangkabau Mengajarkan Kaum Ibu Memakai Tutup Kepala

Salah satu pertanyaan itu berbunyi: “Bagaimanakah pengetahuan “al-Mizan” tantangan perempuan yang berjalan ke pasar atau kemana-mana dengan tidak menutup auratnya sebagaimana yang disuruh oleh syarak, karena pada negeri-negeri kita [di] Bawah Angin sudah rata-rata perempuan memperbuat yang demikian. Maka raja-raja dan qadhi-qadhi tidak memberi hukuman buat melarang pekerjaan itu, jadi kami masih berpandangan dengan perempuan itu, adakah hukum kami berdosa besar juga karena pandang kami bukan disengaja atau bukan dengan syahwat, dan bagaimana pula hukum kepada raja-raja dan qadhi yang tersebut, adakah ia menanggung dosa itu atau tidak?”

Pernyataan ini dijawab oleh redaksi al-Mizan, yang tidak lain ialah ulama-ulama tadi, dengan sangat tafshil, panjang lebar. Mulai dari masalah aurat, dari berbagai sudut pandang, hingga keadaan perempuan di Negeri Bawah Angin (Melayu).

Di antara jawaban redaktur al-Mizan, Jawab: “…… (ketiga) aurat perempuan dengan laki-laki, maka yaitu sekalian badan perempuan itu aurat menisbahkan bagi laki-laki melainkan muka dan dua kaff (yaitu zhahir dua tapak tangan dan batinnya hingga pergelangan), maka haram bagi si-laki-laki menilik kepada aurat perempuan yang telah disebutkan itu, dan demikian juga wajib atas perempuan menutupi dia dengan hadir laki-laki yang ajnabi.”

Setelah itu redaktur menjelaskan tafshil melihat wajah dan tapak tangan perempuan dengan beberapa syarat, terutama aman dari fitnah. Kemudian jawaban ini ditutup dengan penjelasan sebagai berikut.

“Adapun raja-raja dan qadhi-qadhi yang mempunyai kekuasaan tentu wajib atasnya menyuruh dengan ma’ruf dan melarang dari pada yang munkar. Dan apabila tidak ada yang sedemikian itu tentu saja ia pada kemudian hari akan dapat siksa, karena raja-raja itu diumpamakan seperti orang yang gembala, maka ditanya ia kemudian hari dari pada pekerjaannya mengembalakan itu: adakah ia menyuruh dengan ma’ruf dan melarang yang munkar melainkan apabila ada baginya udzur yang shahih. []

Wallahu a’lam bis shawab.

*Sebelumnya, tulisan ini pernah dimuat dalam halaman Facebook Penulis

Apria Putra
Alumni Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah, Pengampu Studi Naskah Pendidikan/Filologi Islam, IAIN Bukittinggi dan Pengajar pada beberapa pesantren di Lima Puluh Kota