Kata ‘alim’ dan ‘ulama’ dalam bahasa Indonesia biasanya hanya digunakan untuk orang yang memahami ilmu-ilmu syariat. Sementara untuk orang yang mengerti ilmu-ilmu non-syariat seperti Fisika, Biologi dan sebagainya digunakan kata ‘ilmuwan’. Di sini, kata alim dan ulama telah mengalami penyempitan makna. Padahal dalam penggunaan bahasa Arab sendiri kata alim dan ulama memiliki pengertian yang lebih luas. Bukan hanya untuk orang yang memahami ilmu-ilmu syariat, ia juga digunakan untuk orang yang memahami cabang-cabang ilmu yang lain. Jadi, pakar Kimia, Science dan sebagainya, yang dalam bahasa Indonesia disebut ilmuwan, dalam bahasa Arab juga disebut ulama.
☆☆☆
Dalam konteks ini maka ayat yang sering dijadikan sebagai dalil untuk keutamaan ulama (dalam pengertian orang yang memahami ilmu-ilmu syariat) agaknya perlu ditinjau ulang interpretasinya. Ayat yang dimaksud adalah QS. Fathir ayat 28:
… إِنَّمَا يَخْشَى اللهَ مِنْ عِبَادِهِ الْعُلَمَاءُ …
“Sesungguhnya yang takut kepada Allah dari para hamba-Nya adalah para ulama…”.
Jika kita perhatikan konteks ayat tersebut secara seksama maka kita akan temukan bahwa sebenarnya ia berbicara tentang fenomena alam, dan ini masuk dalam lapangan ilmu-ilmu non-syariat atau yang sering diistilahkan dengan ilmu-ilmu umum.
Coba perhatikan ayat sebelumnya:
أَلَمْ تَرَ أَنَّ اللَّهَ أَنْزَلَ مِنَ السَّمَاءِ مَاءً فَأَخْرَجْنَا بِهِ ثَمَرَاتٍ مُخْتَلِفًا أَلْوَانُهَا وَمِنَ الْجِبَالِ جُدَدٌ بِيضٌ وَحُمْرٌ مُخْتَلِفٌ أَلْوَانُهَا وَغَرَابِيبُ سُودٌ (27) وَمِنَ النَّاسِ وَالدَّوَابِّ وَالْأَنْعَامِ مُخْتَلِفٌ أَلْوَانُهُ كَذَلِكَ …
“Tidakkah engkau melihat bahwa Allah menurunkan air dari langit, lalu dengan air itu kami hasilkan buah-buahan yang beraneka macam jenisnya. Dan diantara gunung-gunung itu ada garis-garis putih dan merah yang beraneka macam warnanya dan ada pula yang hitam pekat. Dan demikian (pula) diantara manusia, makhluk bergerak yang bernyawa dan hewan-hewan ternak ada yang bermacam-macam warna (dan jenisnya).”
Setelah Allah menjelaskan berbagai fenomena alam yang menakjubkan di atas, baru diikuti dengan sebuah kesimpulan: “Sesungguhnya yang takut kepada Allah dari para hamba-Nya adalah para ulama…”
Bukankah akan lebih tepat jika kata ‘ulama’ dalam ayat ini diartikan dengan ‘ilmuwan’ kalau melihat kepada konteks (siyaq) nya?
Tentu saja ini tidak berarti bahwa ulama dalam pengertian orang yang memahami ilmu-ilmu syariat tidak takut kepada Allah atau tidak memiliki kelebihan. Tidak. Karena banyak ayat lain dan hadis yang menjelaskan keutamaan dan keunggulan mereka. Hanya saja untuk ayat 28 dalam surat Fathir ini, ulama yang dimaksud sesungguhnya adalah para ilmuwan; orang-orang yang mendalami fenomena alam secara sungguh-sungguh dan semua itu membuat mereka merasakan keagungan dan kebesaran Sang Pencipta.
Baca Juga: Klaim “Ulama Sepakat…” Semudah Itukah?
☆☆☆
Seorang ilmuwan dari India, yang juga seorang ulama, bernama Inayatullah al-Masyraqi, di masa mudanya belajar di Cambridge – Inggris, tempat dimana para fisikawan, pakar kosmologi dan pakar-pakar dalam berbagai cabang ilmu umum lainnya berkumpul.
Suatu hari ia melihat seorang fisikawan terkenal; Sir James Jeans sedang berjalan menuju Gereja sambil membaca buku. Hujan turun dengan deras. Sang ilmuwan sebenarnya membawa payung. Tapi payung itu ‘dikepitnya’ saja di bawah ketiak. Saking khusuk membaca buku, ia sampai tidak menyadari kalau hujan sedang turun sementara payung belum ia kembangkan.
Inayatullah mendekat dan menyapa sang ilmuwan. Mulanya Sir James tetap tidak menyadari kehadiran Inayatullah. Baru setelah ia menyapa kembali, Sir James sadar, lalu membalas salamnya. (Andaikan saja kekhusyukan kita dengan al-Qur’an mendekati kekhusukan sang ilmuwan dengan bukunya).
Ia kemudian bertanya, “Ada apa?” Inayatullah menjawab, “Ada dua hal, Tuan. Pertama, payung Tuan belum dikembangkan.” Sir James tersenyum lalu segera mengembangkan payungnya. Inayatullah melanjutkan, “Kedua, saya bertanya-tanya, apa gerangan yang mendorong seorang ilmuwan terkenal seperti Anda pergi ke gereja?” (Kecenderungan umum di masa itu, dan mungkin juga sampai hari ini, kebanyakan ilmuwan atau saintis berseberangan dengan agama karena memang ada ‘permusuhan lama’ antara science dan gereja).
Sir James terdiam sesaat. Lalu ia berkata, “Untuk mengetahui jawabannya engkau mesti datang ke rumahku sore ini sambil minum teh.”
Sore hari, Inayatullah datang ke rumah Sir James. Ia disambut oleh isteri sang ilmuwan. Ia diberitahu kalau Sir sudah menunggunya di pustaka pribadinya. Inayatullah bercerita:
“Lalu saya masuk ke ruang pustakanya. Di sana sudah ada meja kecil dengan teh dan hidangan kecil di atasnya. Saya melihat Profesor James sedang tenggelam dalam pikirannya. Ia sempat tidak menyadari kehadiranku. Setelah sadar ia bertanya, “Apa pertanyaanmu tadi?”
Sebelum saya menjawab, ia langsung saja berceramah tentang benda-benda langit, sistem tata surya yang begitu menakjubkan, jarak antar planet yang sangat teliti, garis edar, gravitasi, spektrum cahaya yang mencengangkan dan sebagainya. Mendengarkan semua itu hatiku terasa bergetar merasakan keagungan dan kemahabesaran Allah Swt.
Saya melihat sendiri rambut Sir James seolah berdiri saat menjelaskan semua itu. Air matanya mengalir dengan deras. Tangannya gemetar. Tiba-tiba ia berhenti dan berkata, “Wahai Inayatullah, ketika saya mengamati kebesaran ciptaan Tuhan, eksistensi (wujud) ku terasa gemetar karena keagungan-Nya. Ketika aku tunduk pada kebesaran-Nya sambil berucap, “Engkau sungguh Agung…” saya merasa seluruh bagian dalam diriku ikut mengamini ucapan itu, dan aku merasakan kebahagiaan dan kedamaian yang luar biasa. Aku merasakan kebahagiaan yang ribuan kali melebihi kebahagiaan orang lain.”
Lalu ia melanjutkan, “Sekarang apakah engkau sudah mengerti wahai Inayatullah, kenapa saya datang ke Gereja?”
Inayatullah berkata, “Tuan, apa yang Tuan sampaikan benar-benar menggetarkan akal, pikiran dan perasaanku. Tapi ini saya teringat sebuah ayat dalam kitab suciku. Kalau Tuan tidak keberatan, saya akan membacakannya.”
Sir James berkata, “Silahkan. Dengan senang hati.”
Saya pun membacakan ayat:
… وَمِنَ الْجِبَالِ جُدَدٌ بِيضٌ وَحُمْرٌ مُخْتَلِفٌ أَلْوَانُهَا وَغَرَابِيبُ سُودٌ (27) وَمِنَ النَّاسِ وَالدَّوَابِّ وَالْأَنْعَامِ مُخْتَلِفٌ أَلْوَانُهُ كَذَلِكَ إِنَّمَا يَخْشَى اللهَ مِنْ عِبَادِهِ الْعُلَمَاءُ …
Sampai di bagian ini, Sir James sontak berkata dengan suara agak keras, “Apa katamu? Sesungguhnya yang takut pada Allah dari hamba-Nya adalah ulama? Ini mencengangkan. Ini luar biasa. Ini sulit dipercaya. Sesuatu yang aku baru tahu melalui kajian dan penelitian selama lebih dari limapuluh tahun disimpulkan dengn begitu sederhana dalam ayat ini. Siapa yang memberitahukan ini pada Muhammad? Benarkah ayat ini ada dalam al-Qur’an? Jika benar maka tulislah sebuah pengakuan dari diriku bahwa al-Qur’an benar-benar kitab yang diwahyukan dari Allah.”
(Kisah ini bisa dilihat dalam buku al-Islam Yatahadda karya ‘Allamah Wahiduddin Khan).
☆☆☆
Sir James Jeans adalah seorang fisikawan dan kosmologis terkenal dari Inggris yang menjadi profesor di Cambridge University dan Prinston University. Beberapa penemuannya yang sangat berpengaruh adalah tentang radiasi dan stellar evolution. Ia juga melayangkan kritik tajam terhadap teori yang dilontarkan seorang ilmuwan terkenal La Place tentang pembentukan sistem tata surya, lalu ia menyampaikan teori pengganti.
Beberapa penemuan ilmiah yang menggunakan namanya adalah Rayleigh-Jeans Law, Jeans Mass, sebuah teori tentang ‘kelahiran’ bintang-bintang, teori tentang Lunar Crater, dan Martin Crater.
Baca Juga: Pusat-pusat Keilmuan Islam di Pedalaman Minangkabau pada Abad 19 dan 20
☆☆☆
Inayatullah al-Masyraqi sendiri juga seorang fisikawan ternama dari India, dan sekaligus juga seorang ulama. Ia meraih Master dalam bidang Fisika saat usianya baru 19 tahun.
Saat usianya mencapai 30 tahun, ia berpikir untuk menulis sebuah tafsir al-Qur’an dan mengkorelasikannya dengan penemuan-penemuan ilmiah. Ide itu segera direalisasikannya. Jilid pertama dari tafsir itu selesai pada tahun 1924, saat usianya 36 tahun. Ia menamakan kitab itu dengan ‘at-Tadzkirah’. Kitab ini ditulisnya dalam bahasa Urdu, bahasa asli masyarakat India.
Karyanya ini menarik perhatian para ilmuwan. Akhirnya ia diusulkan untuk mendapat hadiah Nobel atas karya yang luar biasa ini. Hanya saja panitia mensyaratkan kitab itu mesti diterjemahkan ke salah satu bahasa Eropa. Mengetahui hal itu, Inayatullah menolak dan berkata, “Saya tidak menginginkan hadiah yang tidak mengakui bahasa Urdu-ku.” Padahal ia mampu untuk mengalihbahasakan buku itu dengan mudah karena kemampuan bahasa Inggrisnya tentu tidak diragukan lagi. Tapi harga diri nasionalisme telah terganggu.
اللهم حبب إلينا الإيمان والعلم والمعرفة واجعلنا ممن يخشونك حق الخشية ، آمين
[YJ]
Leave a Review