Redo Sobirin Redo Sobirin
Oleh: Inyiak Ridwan Muzir
Tulisan berikut ini bagaikan ulasan tentang karya anak sendiri. Tak ada orang tua yang bercerita tentang anaknya dengan nada bukan memuja dan menyanjung. Orang tua memang bisa menyatakan kekurangan dan kesalahan anaknya, namun selalu dilengkapi dengan dalih penyebab kesalahan itu terjadi. Kalau Anda berharap ada orang tua bisa menulis studi kritis dan objektif atas anak kandungnya sendiri, itu sama saja Anda berharap ikan lele punya sisik. Bukan si orang tua yang salah, namun harapan Anda yang salah tempat.
Beberapa hari lalu saya didatangi seorang laki-laki bertubuh mungil. Kumis tipis di atas bibirnya sudah membayang, sebagai tanda dia sudah remaja. Namun cengengesan dan sikap malu-malu gagap juga jadi tanda bahwa masa kanak-kanak masih enggan meninggalkan dirinya. Namanya Redo Sobirin.
Apa lagi hal yang dipedulikan remaja sekarang selain fota-foto, selfa-selfi, mencengir-cengir depan kamera sambil tersenyum. Dia, si Redo ini, juga begitu. Dia meminta foto bersama pada saya.
Menanggapi permintaan ini, apa sikap saya? Menolak karena diminta berfoto oleh remaja yang usianya layak jadi anak saya? Atau ikut pula cengengesan senyam-senyum tak tahu diuntung karena sudah tua bangka? Saya tidak menolak, dan tidak pula jaim. Pas pose diambil, saya rangkul pundaknya, biar terlihat khidmat. Dalam hati saya berkata, “Dulu aku juga seperti ini. Tak ada rasanya susah yang akan menghadang. Tapi sekarang masa itu sudah lewat. Sekarang adalah giliran kamu dan teman-temanmu. Carpe diem, kata orang Latin, Raihlah harimu.”
Selesai berfoto bersama selfa-selfie di halaman sekolah si Redo, dan dulu juga adalah sekolah saya, dia menyodorkan sebuah buku. Ternyata buku itu adalah novel karangannya. Covernya didesain sendiri, isinya ditata sendiri, dan dia pula yang mencetaknya di fotokopian. Judul novel itu Pada Rembulan yang Selalu Membawa Kerinduan. Di tengah sampul tertulis nama Redo Sobirin. Lalu di bagian bawah sampul ada anak judul yang semua ditulis dengan huruf kecil berbunyi “cinta sejati adalah melepaskan. bukan mengikatnya dengan kepicikanmu dalam memahami cinta” (sic). Kalimat pertama anak judul pakai titik; sementara kalimat kedua, titiknya tidak ada.
Lalu apa isi novel ini? Ceritanya tentang apa? Waktu saya menerima novel ini, saya memperhatikan sekilas sampulnya yang bergambar siluet pohon meranggas dan di dekat pokoknya ada siluet dua ekor kijang betina. Warnanya dominan ungu sebelah atas lalu berubah jadi pink secara gradatif ke bagian bawah. Saya menduga isinya tentu tak jauh haru biru cinta-cintaan anak remaja. Seperti haru biru kisah cinta monyet saya dan teman-teman dulu masa jaya di waktu remaja.
Baca Juga: Cerita-Cerita Kecil yang Sedih dan Menakjubkan
Kemudian, beberapa saat sebelum menulis ulasan ini, saya tergerak membaca novel tadi. Dalam hati saya berpikir, “Kalau pun memang bercerita tentang cinta-cintaan anak muda, cinta monyet, atau roman picisan, lalu apa salahnya? Akhirnya saya tersadar bahwa sebagian besar masalah antara orang tua dengam anak muda terjadi karena ego dan kesoktahuan orang yang lebih tua. Begitu pula masalah guru dan murid remaja. Orang tua atau guru merasa punya kuasa menentukan mana yang benar, baik dan bagus. Padahal belum tentu juga. Sebab seringkali orang yang tua atau guru jauh lebih brengsek dari anak muda yang masih bersih dari polusi hidup.
Dengan ikhlas saya baca novel itu. Saya membaca bukan karena ingin menikmatinya sebagai mana biasa ketika membaca karya fiksi, maupun untuk mengkritisinya sebagai seorang yang sok-sok-an jadi kritikus sastra. Saya membacanya karena novel itu dikarang anak saya!
Cerita berkisar pada cinta sepasang anak manusia dan persahabatan dengan teman-teman mereka sedari muda. Cerita dimulai dengan tokoh utama yang berziarah ke pusara istrinya. Dia mengenal istrinya sejak masa remaja. Bahkan, dari sudut pandang istrinya, sebenarnya mereka sudah berteman sejak kanak-kanak. Lalu alur cerita beralih mundur ke masa mereka sekolah menengah yang selalu disebut pengarang sebagai sekolah agama. Di masa ini para tokoh diceritakan dengan romantika khas remaja yang penuh canda-tawa, gejolak cinta kasih dan tentu saja kekonyolan-kekonyolan.
Lalu perlahan bergerak pada masa dewasa di mana tokoh utama dan kekasihnya akhirnya menikah. Lalu di bagian akhir, kehidupan rumah tangga tokoh diterpa badai kecemburuan sepele namun selesai dengan happy ending. Namun ending ini dipungkasi dengan tragedi. Takdir juga yang membuat kisah ini jadi tragis. Istri si tokoh tewas ditusuk penjahat. Putri mereka yang baru berusia dua bulan juga meninggal di hari yang sama karena sakit. Si tokoh utama pun nelangsa dalam kerinduan tak bertepi. Novel pun tamat.
Pujian yang akan saya ketengahkan pada novel ini terletak pada beberapa hal. Jangan tanya alasannya, sebab saya sudah katakan di awal bahwa tidak ada orang tua yang tidak akan memuji anaknya.
Pertama, alur novel ini rapi walau dibikin secara spiral, maju-mundur, maju-mundur. Pembaca tidak akan tersesat atau harus susah payah mengingat-ingat cerita sebelumnya. Kedua, pengarang memiliki imajinasi yang luar biasa untuk ukuran seorang siswa di kota kecil dengan segala keterbatasan. Dengan percaya diri dia bercerita tentang kapal kontainer, saham, mafia, hutan belantara, detail-detail situasi terminal dan sebagainya. Dan ingat, pengarang yang remaja dengan imajinasinya bercerita tentang kehidupan rumah tangga si tokoh saat sudah dewasa. Dia “sok tahu” dengan lika-liku perasaan suami-istri dalam rumah tangga. Namun karena kesoktahuan itu lahir dari imajinasi jujur, pembaca jadi tidak jengkel.
Ketiga, novel ini adalah novel remaja dan ditulis oleh seorang remaja. Akibatnya, candaan khas remaja sangat terasa, karena memang bahasanya pengarang yang sedang remaja. Beda dengan novel remaja ditulis oleh pengarang yang sudah bangkotan. Meski penuh canda dan kekonyolan ala remaja, namun dialog-dialog dalam novel ini jarang yang tidak bernas. Misal, “‘Aku tidak melarangmu jadi bodoh. Tapi aku tidak menyangka kau sebodoh ini,’ kata Maher datar (hlm.190).” Atau, agar dua contoh seiring, ‘”Sebelumnya aku mau bertanya. Sebenarnya apakah yang kau inginkan dariku? Sehingga kau mau menikahiku?’, ia bertanya sambil menunduk, suaranya sedikit bergetar. ‘Malam pertama. Eh, maksudku, entahlah. Akupun bingung!’” (hlm.131)
Keempat, pengarang dalam novel ini mencoba kritis terhadap keadaan. Itu sudah biasa. Aktivis sosial, para pengamat dan pakar yang sering berbusa-busa ngomong di tv juga sangat kritis pada keadaan. Yang unik dari pengarang adalah dia melakukan persis apa yang dia kritisi. Dia mengkritisi cerita cinta di sinetron dalam novel cinta yang dia karang. “Tiba-tiba Vakshur teringat akan sinetron yang sering ditontonnya dulu waktu sekolah. Tentang drama percintaan yang norak” (hlm. 194). Keunikan ini sangat mahal, sebab jarang orang yang bisa menampilkan absurditas hidup dengan lempeng!
Baca Juga: Terbaru tentang Syekh Abdurra’uf al-Fansuri
Terakhir, novel ini ditulis oleh seorang anak siak atau santri. Yakni, siswa pendidikan menengah di lembaga pendidikan yang mengajarkan ilmu tentang Islam. Namun tidak sekali pun di dalam novel ini ada kata pesantren atau surau. Dia hanya menyebut sekolah agama. Begitu pula tidak sekali pun nama Allah disebut, tak sepenggal ayat atau hadis pun muncul. Ini artinya pengarang telah mampu melepaskan diri dari kenyinyiran tidak perlu yang menjangkiti novel-novel islami era cinta yang berayat-ayat atau era cinta yang bisa main tasbih. Pendek kata, pengarang sudah lepas dari tren novel Islami yang nyinyir. Di novel era tersebut, kisah dan cerita sukar dibedakan dari ceramah dan khotbah yang cerewet seperti nenek-nenek. Tidak mampu menyentuh rasa dengan cerita.
Inilah pujian saya pada sesama anak yang lahir dari rahim ideologis Syeikh Sulaiman Arrasuli. Seorang ulama yang juga pujangga Minangkabau.[] (wallahu a’lamu bisshawab)
Leave a Review