Buku di Serambi Para Wali ini adalah terjemahan Hilman Hidayatullah Subayo dari kitab yang ditulis Muhammad Husni ad-Daqufi. Buku ini salah satu dari sekian banyak kitab yang berhasil diterjemahkan oleh Hilman Hidayatullah Subagyo. Ia berhasil menerjemah berbagai kitab dan hasilnya pun luar biasa. Tugas menerjemah adalah pekara yang cukup rumit. Selain berusaha menyelaraskan dengan maksud dan tujuan dari penulis, juga berusaha bagaimana diksi yang digunakan mudah dan sederhana.
Buku di serambi para wali diterjemah dari kitab Fi Rihab al-Auliya‘ berhasil diterjemah tahun ini meski sebenarnya kitab tersebut telah terbit pada tahun 2016. Buku ini berisi tentang pembelaan dan bantahan terhadap ajaran Wahabi-salafi yang hanya berkutat pada al-Qur’an dan Hadis sebagai pedoman mereka. Segala sesuatu yang di luar keduanya tidak bisa diterima dan dianggap bid’ah. Setiap yang bid’ah adalah sesat dan segala yang sesat ditempatkan di neraka.
Ada beberapa banyak pemahaman salafi-wahabi tidak sepaham dengan ajaran Ahlu Sunah wal–Jamaah (Aswaja). Dalam memahami al-Qur’an dan hadis, Aswaja sangat moderat, toleran dan kontekstualis-inklusif. Sedangkan Wahabi bersifat tekstual-ekslusif. Mereka menolak kebenaran di luar kelompoknya, tidak intoleran terhadap pemahaman di luar kelompoknya.
Atas dasar tersebut, maka ada banyak pemahaman yang berseberangan dengan pemahaman kita, Aswaja. Pertama, Salafi-Wahabi menolak karamah para wali dengan alasan bahwa hal-hal yang bersifat mistis adalah sebuah kesesatan yang tidak pernah diajarkan dalam syariat Islam. Namun, dalam buku ini asumsi Wahabi-Salafi tersebut dibantah dengan menghadirkan beberapa pandangan imam yang merujuk pada dalil ‘aqli dan naqli. Sebab, tak ada yang mustahil bagi Allah termasuk segala hal di luar nalar akal sehat manusia.
Tidak mungkin bagi untuk mendatangkan suatu bukti kepada kalian kecuali seizin Allah (QS. 14:11). Hal ini jelas bahwa mereka yang mendekatkan diri kepada Allah dengan berbagai ketaatan tidaklah jauh untuk diberlakukannya hal-hal luar biasa melalui tangan mereka untuk memuliakan mereka (43).
Kedua adalah tabarruk (keberkahan) yakni pertumbuhan dan penambahan. Tabaruk adalah doa untuk keberkahan. Bertabaruk terhadap sesuatu berarti mengharapkan berkah (kepada Allah). Kita tahu bahwa aliran Salafi-Wahabi sangat menolak keras tabaruk. Salah seorang ulama madzhab Wahabi, Ali bin Nafi’, dengan gigih menolak, mengharamkan dan menuduh syirik praktik tabarruk. Mereka menilai tindakan tabarruk menyerupai kaum jahiliah dulu. Mereka meminta berkah terhadap berhala-berhala yang mereka sembah, dengan berharap tambahan kebaikan yang berlebih.
Ketiga, tawasul. Secara garis besar tawasul bermakna perantara. Dalam praktiknya, ia banyak dilakukan ketika berdoa kepada Allah swt.. doa itu dilakukan dengan menyertakan nama nabi atau nama pribadi seseorang yang masyhur sebagai ahli taqwa. Dengan tawasul ini, diyakini bahwa peluang dikabulkannya harapan dan doa lebih besar. Namun, Wahabi-Salafi menolak keras praktik ini dengan dalih bahwa praktik ini merusak kemurnian tauhid. Mereka mengharamkan tawasul dan menganggap ini bid’ah dalalah dan syirik. Abdullah bin Baz salah seorang mufti madzhab Wahabi menyatakan bahwa barang siapa yang meminta (tawasul) kepada nabi dan meminta syafaat darinya, ia telah merusak keislamannya.
Pun demikian dengan zikir bersama. Hal ini tidak pernah ada pada masa nabi, sahabat dan juga Tabi’in. Hal ini diklaim bahwa zikir bersama adalah sebagai amalan sunah, dengan berbagai dalil yang dipahami. Begitulah yang diyakini Salafi-Wahabi selama ini. Dalam buku ini dijelaskan secara terperinci bagaimana memahami dalil yang sebenarnya. Bahkan, didukung dengan beberapa pendapat ulama terkemuka berbagai disiplin ilmu.
Ke empat, ziarah kubur merupakan tradisi yang sudah melekat di masyarakat Sunni. Lebih lebih kuburan yang dianggap keramat dan wali. Sering kali kita menjumpai jamaah pengajian melakukan ziarah Sembilan wali, lima wali atau ke beberapa kuburan yang dianggap keramat. Maka, seyogyanya bahwa ziarah itu bukan dalam rangka mengkultuskan, apalagi sekedar wisata religi, akan tetapi dalam rangka meningkatkan ketakwaan kepada Allah. Imam muslim dalam sahihnya meriwayatkan dari Ibnu Buraidah dari ayahnya bahwa Nabi bersabda “dahulu aku melarang kalian untuk ziarah kubur, tetapi sekarang ziarahlah kubur oleh kalian.” (113)
Di bagian akhir, buku ini dilengkapi dengan sesi tanya jawab untuk mempermudah para pembaca. Semoga, dengan hadirnya buku ini bisa menambah dan memperkuat keimanan kita. Selamat membaca.
Buku : Di Serambi Para Wali
Penulis : Muhammad Husni al-Daqufi
Penerbit : Qaf
Penerjemah : Hilman Hidayatullah Subagyo
ISBN : 978-623-6219-15-7
Terbitan : Juni, 2022
Peresensi : Musyfiqur Rozi
Leave a Review