Sebelumnya Baca: Ulasan Kitab Tauhid Kitab Fathul Majid-1
Syekh Nawawi al-Bantani melanjutkan ukiran pena ketulusan yang syarat dengan nilai-nilai uluhiyyah (ketauhidan) melalui susunan kalimat hikmahnya,“Aku beri nama kitabnya (maksudnya kitab syarahan beliau) Fathul Majid Fi Syarhid Daril Farid, dan sejatinya aku mengutipnya dari sebagian kitab-kitab (literatur) yang terpercaya keautentikannya”.Keterangan Syekh al-Bantani ini merupakan lanjutan dari apa yang beliau tulis sebelumnya, berkenaan dengan footnote ataupun kepustakaan dari karangan yang beliau rilis pada 1294 H itu.
Pengakuan seperti ini mengingatkan kita pada ungkapan Tan Malaka yang lahir jauh setelah as-Syekh, bahwa seorang pengarang atau penulis adalah murid dari pemikir lain dari masyarakatnya sendiri atau masyarakat lain (Madilog, 1943). Baik tulisan Syekh al-Bantani ataupun ungkapan Tan Malaka sama-sama memberikan pencerahan akan sangat berharganya kepustakaan bagi seorang penulis. Dalam rekaman riwayat kehidupan para ulama seringkali dijumpai integritas kepustakaan yang menyatu dengan perjalanan hidup mereka. Imam as-Syafi’i contohnya, dalam suatu riwayat diterangkan, ketika mudanya pernah memenuhi kamarnya dengan berbagai literatur keilmuan yang telah beliau pelajari.
Berkaitan dengan prinsip tauhid yang merupakan ruh kitab ini, tulisan as-Syekh merupakan pembumian dari sifat Wahdaniyyah dan Ilmunya Allah SWT. Sebagai makhluk bertuhan, merupakan sebuah kesadaran naluriah bagi manusia untuk saling membutuhkan dalam bentuk apapun. Ini merupakan perbedaan mendasar antara ilmu Allah dengan ilmu makhluk yang membutuhkan perantara. Perantaraan tersebut baik berbentuk keguruan, bahan bacaan (kepustakaan) atau dalam bentuk yang lainnya.
Kesadaran akan perbedaan ilmu tersebut merupakan pendalaman atas kemurnian tauhid, bahwa hanya Tuhan yang mampu berbuat tanpa membutuhkan apapun, tanpa butuh perantara. Pemilihan literatur dengan menukilkan yang mu’tamad adalah bentuk kecerdasan. Ini sangat berguna agar tidak menimbulkan pemahaman yang simpang siur di tubuh Ahlu Sunnah wal Jama’ah. Ini juga merupakan warisan lama dalam memperhitungkan keautentikan sumber.
***
Padahal masih di awal pembahasan kitab, namun as-Syekh telah mencerminkan nilai-nilai tauhid yang terkandung dalam kitabnya. “Maka sesuatu yang bernilai benar merupakan pengejewantahan dari literatur tersebut, dan yang mengindikasikan terhadap selainnya (yang tidak benar / dikeragui-pen) merupakan kelalaian pena yang ditunggangi keraguan (pensyarah / as-Syekh-pen)”. Pernyataan pertama dari as-Syekh merupakan sambungan dari apa yang sebelumnya beliau tuliskan dengan kata “Mu’tamad”, bahwa pengambilan literatur kitab ini didasarkan pada penelusuran literatur yang terpercaya dan bisa diterima keautentikannya.
As-Syekh agaknya hendak menyampaikan, bahwa kebenaran tidak semata-mata bersifat absolut yang menanamkan penyeragaman secara totalitas. Pemahaman terhadap teks yang sama tidak menutup kemungkinan di kemudian hari menimbulkan perbedaan presepsi. Sebagai seorang yang memegang erat kajian ketauhidan dengan menghormati anugerah akal sebagai karunia Allah SWT, as-Syekh hendak memberikan keterbukaan kepada pembaca untuk menyimpulkan tulisan yang telah beliau bukukan.
Hal demikian dilakukannya karena pembahasan tentang ketauhidan memiliki kaitan erat dengan operasional akal manusia, sebagai kebutuhan yang prinsipil dalam kajian ketuhanan. Dan sebagai seorang yang menjalin komunikasi aktif dengan Allah melalui jiwa spiritual, yang hanya bisa dialami melalui penjiwaan terhadap nilai-nilai ketuhanan yang lebih halus, as-Syekh kemudian menuturkan,
“Dan aku memohon kepada Allah SWT sebagian karunianya yang bersifat umum, bahwa Ia jadikan syarahan itu ikhlas semata-mata karena Wajah-Nya (keridhoan-Nya) Yang Maha Mulia. Dan bahwa Ia beri manfa’at dengannya (Syarahan) terhadap setiap orang yang ingin belajar dan mengajar. Tidak ada taufiq–ku kecuali bersama Allah, yang aku bertawakkal terhadap-Nya dan kepada-Nya aku kembali. Dialah yang memberikan kecukupan terhadapku dan pengijabah (pemberi jawaban) terbaik. Tiada daya (untuk berbuat kebaikan) dan tiada upaya (untuk menolak keburukan) kecuali bersama Allah yang maha tinggi lagi agung”.
Ruh ketuhanan yang mensinyalir goresan tinta as-Syekh di setiap pembahasan tergambar secara gamblang dalam sesi tulisan beliau pada baris ini. Demikian terlihat dari pujian pada seluruh sifat tuhan, sholawat dan salam terhadap utusan Allah; Sayyidina Muhammad SAW, penulisan kitab syarahan, penelusuran serta penukilan pada berbagai literatur, dan penjelasan yang akan lebih mendalam sampai akhir isi kitab. Demikian tidak terlepas dari kemurahan Allah dalam menuntun as-Syekh menuju penjelasan-penjelasan yang menguras akal para pembaca di hari setelah lahirnya kitab ini. Corak pemahaman prinsipal ala Ahlusunnah wal Jama’ah berkenaan dengan korelasi af’al (perbuatan) Allah dan kasab (usaha) hamba, diperlihatkan as-Syekh secara eksplisit dalam rangkaian kalimat tersebut.
Demi pembahasan yang berimbang dan tanpa mendeskreditkan suatu golongan sebagai bentuk kebencian -atau yang dalam dialek Minang kerap disebut dengan “mangapik daun kunyik”- as-Syekh menuntun ketulusan pembaca melalui permohonan beliau sendiri kepada Allah SWT agar diberi karunia keikhlasan dalam pembahasan kitab ini dari awal hingga akhirnya, sehingga tercipta sebuah konsep yang proporsional.[#2]
Selanjutnya Baca Juga: Ulasan Kitab Tauhid Kitab Fathul Majid-3
Leave a Review