scentivaid mycapturer thelightindonesia

Ulasan Kitab Tauhid, Kitab Fathul Majid [#3]

Kitab Tauhid, Kitab Fathul Majid
Dok. Istimewa

Syekh Ahmad an-Nahrawi dalam Kitab Fathul Majid berkata:

   بسم الله الرحمن الرحيم

Dengan nama Allah yang Maha pengasih lagi Maha penyayang”.

Syekh Muhammad Nawawi al-Bantani memberikan ulasan:

 “اي أؤلف متبركا باسمه العظيم

Artinya aku mengarang seraya mengharap berkah dengan naman-Nya yang Maha agung”.

Keterangan Syekh Nawawi al-Bantani ini paling tidak berisikan paparan singkat tentang apa yang kita kenal dalam kajian Nahwu dengan istilah Muta’allaq. Keterangan yang ditulis oleh Syekh al-Bantani dengan memakai fi’il sebagai Muta’allaq relevan dengan tulisan Syekh Makhluf bin Muhammad al-Badawi dalam kitab Hasyiyahnya terhadap Syarah Syi’ir Jauharul Maknun yang mengemukakan bahwa pemakaian fi’il sebagai muta’allaq huruf Jar lebih diutamakan, hal ini erat kaitannya dengan asal penggunaan fi’il sebagai kata kerja (Hasyiyah Syekh Makhluf bin Muhammad al-Badawi, h.4).

Pekerjaan disini teraplikasi dalam bentuk mengarang. Adapun huruf ba (ب) yang terletak di awal Basmalah sebagaimana dijelaskan Syekh Nawawi dengan potongan kalimat متبركا  faedahnya adalah untuk استعانة  atau memohon bantuan dalam bentuk harapan diberi keberkahan lewat penyebutan basmalah. Keterangan ini sejalan dengan keterangan faedah Ba -huruf jar– yang dituliskan oleh Imam Ibnu Malik dalam Alfiyahnya “وبالبااستعن”  dan minta tolonglah dengan (huruf) ba (Alfiyah Ibnu Malik, h.36).

Ulasan lebih lanjut tentang keterangan lafal basmalah ini dituliskan Syekh Nawawi al-Bantani,

 “والله علم للذات البحت الأقدس والرحمن صفة له ومعناه المنعم بعظائم النعم والرحيم صفة ثانية ومعناه المنعم بدقائقها فهو المنعم بجميع الآلاء المستوحب لأنواع المحامد”

Dan lafal Allah adalah isim alam (nama/sebutan) untuk zat yang Maha suci, dan lafal ar-Rahman (dalam konteks ini) berposisi sebagai sifat bagi lafal Jalalah, dan maknanya adalah Maha pemberi nikmat yang besar dan lafal arRahim (dalam konteks ini) berkedudukan sebagai sifat yang kedua, dan maknanya adalah Maha pemberi kehalusan-kehalusan nikmat yaitu pemberi seluruh nikmat yang berhak terhadap sekalian pujian.

Baca Juga: Ulasan Kitab Tauhid Kitab Fathul Majid-1

Penyandaran atau idhofat lafal اسم  kepada lafal Allah dalam basmalah menurut Syekh Muhammad ad-Dasuki merupakan idhofat ‘am kepada khas, dalam artian nama manapun dari nama-nama Allah. Metode ini sekaligus mengindikasikan nilai-nilai akidah yang terkaver dalam bentuk kepercayaan bahwa Allah memiliki beberapa nama (Hasyiyah ad-Dasuki, h.2).

Hal senada diungkapkan Syekh al-Badawi bahwa pemilihan lafal Jalalah sebagai objek idhofat dalam kalimat Basmalah dikarenakan lafal Jalalah lebih masyhur di lidah dan lebih sering dipakai sekaligus menghimpun seluruh sifat-sifat Allah (Hasyiyah Syekh Makhluf bin Muhammad al-Badawi, h.4).

Adapun lafal Jalalah yang oleh Syekh Nawawi al-Bantani diterangkan sebagai nama/sebutan untuk zat yang Maha Suci hanya semata-mata sebagai penjelasan terhadap zat yang dinamai Allah. Keterangan tersebut bukan berposisi sebagai pentakhsis atau menspesifikasikan makna lafal Jalalah. Sebab seandainya keterangan lanjutan as-Syekh ini berposisi sebagai spesifikasi dari lafal Allah, orientasinya akan mengantarkan pada manifestasi bahwa lafal Allah bersifat Kully (dipakai untuk penunjukkan selain tuhan).Seandainya kita menyimpulkan begitu maka orientasi kalimat tahlil sebagai kalimat tauhid akan terkesampingkan.

Baca Juga: Ulasan Kitab Tauhid Kitab Fathul Majid-2

Keterangan ini menurut Syekh ad-Dasuki -dalam keterangannya terhadap lafal Jalalah yang dijelaskan dengan zat yang wajib wujud- merupakan kesepakatan para ulama tauhid (Hasyiyah ad-Dasuki, h.2).

Keterangan as-Syekh tentang Allah yang Maha Suci ini sekaligus mengindikasikan nilai akidah dalam bentuk himpunan segala sifat-sifat wajib Allah SWT sekaligus mengindikasikan mustahilnya Allah memiliki sifat yang kurang, yang akan membawa pada tidak pantas-Nya menyandang gelar suci.

Keterang as-Syekh mengenai makna ar-Rahman yang beliau beri catatan dalam artian sebagai Maha Pemberi Nikmat Yang Besar, menjelaskan sifat احسان  (kebaikan) Allah SWT yang meratakan pemberian nikmat kepada seluruh makhluk-Nya. Pemberian nikmat terhadap orang-orang yang beriman maupun terhadap mereka yang kafir ataupun untuk seluruh makhluk, sebagai istidraj (penjerumusan) ataupun sebagai bentuk kasih sayang Allah SWT.

Melalui uraian ini, as-Syekh paling tidak secara tersirat menerangkan aqidah wajib Qiyamuhu Bi Nafsihi Allah yang tidak butuh kepada apapun dari makhluk.

Jika ar-Rahman Allah diterjemahkan dengan penyantunan Allah terhadap seluruh makhluk-Nya, maka ar-Rahim diartikan sebagai santunan khusus untuk mereka yang bertauhid dan bertahmid memuji Allah SWT.

Kata ar-Rahim, yang oleh as-Syekh diterangkan dengan pemberi nikmat-nikmat yang halus dan yang berhak terhadap sekalian pujian, merupakan keistimewaan untuk orang-orang yang beriman dan bersyukur tehadap nikmat Allah SWT. Sementara kekhususan tersebut akan diterima oleh manusia beriman ketika segala amal ibadah telah diberikan balasan dalam bentuk sorga ataupun neraka.

Baca Juga: Ulasan Kitab Tauhid, Kitab Fathul Majid [#4]

Keterangan as-Syekh ini dapat berarti sebagai pengejewantahan dari nilai aqidah sifat Jawaz Allah yang menyantuni hamba-Nya yang beriman dengan karunia sorga.[]

Andrial Putra
Jamaah Kaji Surau