Syekh Ahmad al-Nahrawi dalam Kitab Fathul Majid berkata :
(الحمد) اي الثناء على جميل غير المطبوع ثابت (لله) على جهة الاختصاص والارتباط (الواحد فى ذاته وصفاته
فلا مماثل لذاته ولا مشابه له وليس له صفتان من جنس واحد ولا مشابه لصفاته
“Segala pujian artinya sanjungan atas segala keelokan yang original merupakan hak Allah SWT semata, bentuknya istimewa dan memiliki rangkaian. Ia maha esa pada zat dan sifat-Nya, sehingga tidak ada yang menyamai dan menyerupai zat-Nya. Ia tidak memiliki dua sifat yang sejenis dan tidak ada yang menyerupai sifat-Nya”
Syekh al-Bantani mengatakan bahwa pujian dan sanjungan Syekh al-Nahrawi terhadap keagungan Allah SWT tidak lepas dari konteks yang sedang ia bahas. Ia sangat memelihara “Bara’at al-Istidlal”. Meskipun, ia menuliskan kentalnya nilai-nilai tauhid secara ringkas, namun maknanya mencakup seluruh aspek ketauhidan dan menyentuh unsur paling penting dari akidah. Seolah-olah, ia mengajarkan pembaca tentang sebuah tradisi lama, yaitu penyelarasan kajian dari awal hingga akhir. Dengan demikian, tata cara penulisan sebuah karya yang mengetengahkan rumusan permasalahan dan tujuan pembahasan dewasa ini, selaras dengan spirit “Bara’at al-Istidlal” tersebut.
Syekh al-Bantani kemudian menguraikan kalimat pujian yang ditulis oleh Syekh al-Nahrawi. Pujian terhadap Allah merupakan sanjungan atas keagungan Allah yang sifatnya original. Dengan kata lain, dalam hal ini, sanjungan hanya pantas, patut dan tetap bagi Allah swt saja. Penjelasan ini secara tersirat menafikan kesamaan sanjungan manusia terhadap Allah dengan sanjungan manusia terhadap sesama.
Relevansinya dengan kalimat Syekh al-Bantani berikutnya adalah ia memperkenalkan ke-esaan Allah SWT. Esa dari segi zat, bahwa tidak ada zat yang menyamai dan menyerupai zat Allah secara persis. Esa dari segi sifat, bahwa Allah SWT tidak memiliki dua sifat yang sama dan tidak ada yang menyerupai sifat Allah SWT. Secara langsung, penjelasan ini menafikan “Kam Muttasil” pada zat dan sifat serta “Kam Munfasil” pada zat dan sifat.
Jika diamati arah keterangan dua orang Syekh ini, maka dapat dipahami bahwa mereka menafikan seluruh kekurangan yang tidak layak bagi Allah SWT. Apa yang tetap bagi Allah SWT hanyalah segala kesempurnaan. Oleh karena itu, keesaan Allah SWT tercakup dalam tiga hal pokok, yaitu Allah memiliki sifat yang wajib, mustahil dan harus.
Keterangan tersebut pada dasarnya bukanlah merupakan sesuatu yang baru. Karena istilah yang dipakai dalam cabang ilmu ketuhanan agama Islam adalah توحيد. Istilah توحيد menandaskan bahwa ilmu tersebut membahas persoalan yang berkaitan dengan peng-esaan Allah SWT.
Jika penafsiran ini dijabarkan dalam konteks ke-Indonesiaan, maka akan ditemukan sebuah titik antara ide dalam sila pertama Pancasila dengan pokok ajaran islam. Barangkali sangatlah bisa diterima apa yang dikatakan oleh Bung Karno sebagai bapak nasionalisme Indonesia, bahwa sila pertama Pancasila itu diambil dari mata air Islam dan dengan gayung Islam. Oleh sebab itu, dalam hal ini, tidak ada benturan antara Islam dengan Pancasila.
Perbedaan penafsiran tentang “esa” dalam Pancasila barangkali dapat dijadikan sebagai ajang toleransi beragama, demi menjaga persatuan dan cinta tanah air. Toleransi tersebut sebagai pengamalan atas apa yang disebut dalam pepatah Arab حب الوطن من الإيمان “cinta tanah air adalah sebagian dari iman”.[#4]
Leave a Review