Ungku Saliah
Oleh: Shafwatul Bary
Saya begitu terhenyak ketika mendengar informasi bahwa seseorang yang mengaku beragama Islam dan berakidah lurus dengan nama akun Facebook “Dodi Ariyanto” telah membakar foto Syekh Ungku Saliah Karamatullah al-Syatthary. Dari unggahannya, Sdr. Dodi beralasan bahwa hal ini dilakukannya dengan tiga alasan: (1) Sebagai tindakan memurnikan akidah generasi penerus yang dikhawatirkannya akan terjerumus kepada kesyirikan dengan menjadikan foto tersebut sebagai pelaris; (2) Salah satu kaidah fiqhiyyah: “meninggalkan sesuatu yang kemudaratannya besar, lebih diutamakan daripada mengambil manfaat yang sedikit”; (3) Membakar foto ulama bukanlah dalam maksud menghinakan, melainkan memuliakan. Seperti membakar Mushaf al-Qur’an yang sudah tidak bisa dipakai.
Sebelum membantah alasan-alasan Dodi yang menyebabkannya melakukan kesalahan itu, saya ingin terlebih dahulu memperkenalkan siapa Ungku Saliah di mata masyarakat Minangkabau, khususnya masyarakat Pariaman, dan bagaimana kiprah beliau semasa hidupnya di tengah-tengah masyarakat?
Ungku Saliah memiliki nama kecil Dawaik. Adapaun penamaan Syekh Ungku Saliah Karamatullah adalah gelar-gelar yang disematkan guru-gurunya dan masyarakat lantaran kealiman, karisma, dan karomah yang beliau miliki sejak kecil hingga tutup usia. Beliau lahir pada 11 Rabiul Awal 1305 H (1887 M) di sebuah daerah yang bernama Barangan, Kab. Padang Pariaman, dan meninggal pada tanggal 7 Rajab 1394 H (1974 M) di Sungai Sariak, Padang Pariangan.
Jejaring Ungku Saliah juga tidak bisa dipandang sebelah mata, ke atasnya, guru-guru beliau adalah Syekh Muhammad Yatim, pendiri Pesantren Luhur Kalampaian Ampalu Tinggi, Kab. Padang Pariaman, gelanggang mudzakarahnya para alim ulama se-Pariaman; lalu Angku Aluma Koto Tuo, Kab. Agam; dan Syekh Bintungan Tinggi, Kab. Padang Pariaman. Sedangkan murid-murid Ungku Saliah sangat banyak, di antaranya yang masyhur adalah Buya Amiruddin, Buya H. Salih, dan Buya Syekh H. Ali Imran Hasan Ringan-ringan. Setidaknya, bagi yang mengetahui sejarah dan kiprah ulama-ulama Minangkabau, nama-nama yang ada di sekitaran Ungku Saliah tersebut cukuplah menjadi gambaran bahwa Ungku ini bukanlah sembarang orang. Kealimannya berantai emas ke atas dan ke bawah.
Memang, harus diakui bahwa bagi orang awam dan orang yang tidak peduli dengan sejarah ulama, nama Ungku Saliah sangat lekat dengan foto kakek-kakek yang banyak dijumpai di Rumah Makan Minang. Cobalah cari di mesin pencarian internet tentang Ungku Saliah, hasilnya tak akan jauh dari urusan perumahmakanan. Namun, mengabaikan sosok beliau sebagai ulama yang alim dan berkiprah terhadap masyarakat, sehingga yang tersisa di benak hanyalah pandangan kepada perilaku masyarakat yang memajang foto beliau, adalah hal yang salah. Untuk itu, mari kita urai musabab apa masyarakat melakukan hal demikian agar perilaku Sdr. Dodi tadi mendapat sedikit titik terang.
Bagi masyarakat Pariaman khususnya, Ungku Saliah adalah figur ulama yang tidak hanya sebagai pengayom keagamaan dan spiritualitas, tapi juga sebagai tempat mengadu segala perkara, terutama ekonomi. Banyak perkara perekonomian masyarakat yang beliau selesaikan. Misalnya, Beliau adalah penggagas koperasi Islam di Sungai Sariak. Selain itu, semasa hidupnya beliau juga kerap kali membuat kincir air untuk mengairi sawah-sawah masyarakat. Yang paling penting untuk dicatat adalah bahwa beliau paling tidak suka melihat orang kesusahan ekonomi. Apa yang ada di tangan beliau, akan beliau berikan kepada siapapun yang membutuhkan. Ringkasnya, Ungku Saliah adalah penggagas sistem ekonomi yang relijius.
Agaknya hal-hal itulah yang membuat masyarakat ingin menjadikan foto Ungku Saliah sebagai pajangan di setiap usaha-usahanya. Dalam arti lain, dengan memajang foto Ungku Shaliah di setiap usahanya, mereka jadi lebih terkontrol untuk tidak berbuat curang dan culas dalam berusaha, serta jadi rajin bersedekah layaknya Ungku Saliah.
Kenyataan ini tentu menjadi pembantah buat alasan pertama Sdr. Dodi tadi. Artinya, memajang foto Ungku Saliah bukanlah sebuah praktik syirik, melainkan hanya sebagai pengingat bahwa dalam setiap kegiatan perekonomian, penting untuk mengedepankan aspek keagamaan.
Kalaupun ada masyarakat yang berpikir bahwa dengan memajang foto Ungku Saliah dia bisa mendapat pelanggan lebih, maka menurut analisis seorang senior, hal ini persis sama seperti yang dilakukan Sdr. Dodi. Sebagai seorang “pengusaha” Ruqyah, tentu Sdr. Dodi mengharapkan banyak konsumen yang akan ruqyah dengannya, sehingga, dengan mengunggah tulisan dan fotonya yang telah membakar foto Ungku Saliah yang menurut anggapannya berkaitan erat dengan syirik dan makhluk halus, secara tidak langsung dia juga sedang mempromosikan usaha Ruqyahnya tersebut. Mirisnya, korban Sdr. Dodi dalam promosinya kali ini adalah seorang ulama. Agaknya istilah “babasuah cirik jo kajamban” dalam hal ini dirasa tepat.
Adapun alasan Sdr. Dodi yang kedua bisa dipastikan salah besar. Karena pada kenyataannya, tingkah Sdr. Dodi justru menimbulkan mudarat yang jauh lebih besar. Hati masyarakat yang terlanjur mengagumi Ungku Saliah sebagai ulama panutannya menjadi tersayat-sayat, masalah-masalah khilafiah yang selama ini tidak begitu menimbulkan gores menjadi sebuah momok yang menciderai persaudaraan, masyarakat yang selama ini tentram jadi terusik oleh tingkahnya. Alhasil, dalam hal ini, Sdr. Dodi telah membuat mudarat yang sangat besar.
Sedangkan alasan ketiga, Sdr. Dodi mencoba menyamakan foto ulama dengan mushaf al-Qur’an. Mari kita lihat ketidakcocokan logika perbandingan Sdr. Dodi ini. Mushaf al-Qur’an boleh dibakar jika dengan sebab tidak lagi dibaca, dikhawatirkan akan tercecer, terjatuh ke tanah, terinjak-injak, dan hal-hal yang membuatnya tidak dihormati lagi. Sedangkan mushaf yang masih disimpan dan dihormati, tetap harus dijaga. Nah, jika kita bandingkan dengan foto Ungku Saliah, di setiap Rumah Makan atau usaha lainnya, masyarakat justru memajangnya di tempat yang tinggi lengkap dengan bingkai. Artinya penghormatan terhadap foto ulama masih ada. Walhasil, perbandingan Sdr. Dodi dalam hal ini sangat-sangat tidak tepat.
Terkahir, saya ingin menyimpulkan bahwa perilaku Sdr. Dodi itu tidak lebih dari sekadar suudzhon yang berlebihan. Keinginannya untuk merasa paling benar dalam berislam, jauh melebihi keinginannya untuk mendakwahkan Islam yang ramah dan elok, –untuk tidak menyebut bahwa dia sedang berpromosi dengan jualan ruqyahnya–.
Ringan-ringan, 27 September 2020
Tulisan Sdr Dodi dan Bantahan anda terlalu dipaksakan untuk dijadikan rujukan kebenaran. Ada gap yg besar antara Sdr Dodi dan Anda. Sya tak menemukan solusi yg anda tawarkan dr opini untuk membantah tulisan Sdr Dodi.
Bgtu yg sya lihat.
Kan masalah nya saudara dodi lagi meruqiyah pasien
Dan kebetulan foto tersebut dianggap pasienya pelaris untuk usaha
Itu salah besar, menjadikan foto ulama sebagai bahan pelaris jualan.
Karena sejatinya minta lah kepada allah semua akan dikabulkan.
Sah sah saja foto ulama di pajang kl untuk memuliakan ulama
Tapi kalau hal2 aneh jangan lah
Selebihnya mohon maaf kalau ada salah kata
Saya lihat dan saya perhatikan,khusus untuk orang berbendera Pariaman dimanapun,dan apapun usaha mereka,mereka pasti memajang foto Beliau,tak harus rumah makan,dan tak tak harus di tempat usaha,di rumah merekapun mereka pajang foto Ungku saliah tersebut.Dan ada dari mereka menganggap akan menerima sebuah keberkahan dan ada juga yg berpersepsi untuk menganggungkan beliau sebagai ulama hebat asal Pariaman Sumbar kalau mereka dirantau,seperti halnya Wali songo di pulau Jawa
Kalau memang untuk menghormati ulama, kenapa hanya foto Ungku Saliah yg dipajang? Kan masih banyak foto ulama terkenal lainnya di Pariaman atau Sumbar, seperti Syekh Burhanuddin, Syekh Ar Rasuli (Inyiak Canduang), Buya Hamka atau ulama terkenal seperti Al Ghazali, Imam Syafei, dll.
Aahh… Kirain jawaban nya akan keren dan brilian, ternyata isinya kacangan. Fakta, saya sering tanya rumah makan yg memajang foto angku itu, mereka bilang utk penglaris. Bukan utk ditiru infaq , sedekah dan perbuatan baiknya.
Saya orang VII Koto Sungai Sariak asli dan pendapat saya sama spt. Sdr Dodi,akan banyak mudharat daripada manfaat memajang foto Ungku Shaliah.
Saya adalah urang 7 koto/balai baru (tdk jauh dari suraunya UngkuShalih), yg juga punya usaha rumah makan Padang. Saya tahu betul bahwa dari 10 rm Padang yg memasang photo Ungku Shalih, 6-7 punya tujuan utk penglaris/ ramainya yg makan. Penulis ini nampaknya tdk melakukan observasi dan tulisannya tdk menggambarkan kajian, hanya didasrkan kepda buruk sangka saja
Saya dari Biaro, Agam, saya sependapat dengan Sdr. Dodi yang menerapkan kehati-hatian dalam masalah aqidah. Kita harus menutup segala pintu kesyirikan, termasuk dengan memajang foto ulama. Anda tahu siapa Latta? Dia adalah orang shalih yang semasa hidupnya senang membagikan roti gratis kepada jamaah Haji, setelah peninggalan beliau, masyarakat Mekah membangun patung untuk menghormati beliau. Namun setelah melewati beberapa generasi, patung yang dibangun untuk menghormati ini, kemudian malah dijadikan sesembahan oleh Kafir Quraisy. Khawatirnya, ini iuga akan terjadi pada masyarakat Minangkabau yang menganut falsafah Adaik Basandi Syaraik, Syaraik Basandi Kitabullah. Jika pintu kesyirikan tak segera ditutup, maka falsafah itu kelak hanya akan jadi sekedar tulisan biasa.
Saya tak menemukan solusi dari bantahan anda, saya lebih suka dengan cara sdr Dodi yang mengedepankan kata Syirik dari pada argumen yang tidak jelas