Dalam salah satu diskusi dengan seorang Ustadz, beliau bercerita tentang kegiatan Ramadhan di sebuah masjid. Sudah jadi kebiasaan, sebelum penceramah utama tampil, ada siswa-siswi dari madrasah atau pesantren minta pada pengurus untuk menampilkan anak didik mereka. Biasanya, di samping untuk unjuk kemampuan, juga sebagai ajang promosi dan penggalangan dana.
Sampai di sini semua masih normal. Tapi ketika siswa tersebut tampil untuk ceramah, pengurus dan jamaah kaget mendengar penyampaian siswa yang polos tersebut. Bukannya berbicara tentang keutamaan menuntut ilmu, pentingnya berinfak di bulan yang mulia, ajakan untuk ambil bagian dalam pembangunan pesantren atau madrasah, siswa itu malah berbicara tentang : amalan A bid’ah, amalan B tidak ada dalilnya, perilaku C salah dan seterusnya.
***
Kita sudah ‘kenyang’ dengan perdebatan (bahkan sampai kepada polemik) tentang amalan-amalan masyarakat yang dinilai bid’ah oleh sebagian kelompok. Tapi setajam apapun perdebatan itu, masih bisa ‘dimaklumi’ kalau para ‘jawaranya’ adalah orang-orang yang memiliki dasar keilmuan yang cukup. Kita masih bisa memahami ketika seseorang menilai bid’ah sebuah amalan yang menurutnya tidak punya dalil. Kita masih bisa mengerti ketika seseorang menyampaikan apa yang menjadi keyakinannya setelah melakukan penelitian dan pengkajian.
Tapi yang agak sulit kita pahami adalah kenapa ‘makanan’ untuk orang dewasa itu harus disuapkan pada seorang bayi? Kenapa anak yang sedang beranjak remaja dan ingin memenuhi dada dengan iman dan kepala dengan pengetahuan harus ‘ditarik paksa’ ke wilayah yang belum sepatutnya ia masuki? Kenapa anak yang lahir dan tumbuh dalam masyarakat mesti ‘diformat’ untuk berbeda dengan lingkungan dan masyarakatnya sendiri?
Baca Juga: Dusta atas Nama Nabi ﷺ
***
Kita tentu berharap bahwa apa yang diceritakan Ustadz tadi hanyalah satu peristiwa yang bersifat kasuistik, tidak general. Tapi kalau ternyata fenomena ini juga terjadi di tempat lain atau bahkan di banyak tempat, kita perlu mengkaji ulang apa sesungguhnya tujuan kita belajar, dan apa sesungguhnya tujuan kita dalam mengajar? Apa yang semestinya kita ‘suntikkan’ kepada para murid yang sedang tumbuh berkembang dan kelak akan menjadi tokoh-tokoh yang berpengaruh di tengah-tengah masyarakat?
***
Ada baiknya kita simak nasihat sekaligus ‘keluhan’ seorang imam besar di masanya; Imam Ibnu Qutaibah ad-Dinawari rahimahullah. Dalam kitabnya al-Ikhtifal fi al-Lafzi beliau menulis:
كان طالب العلم فيما مضى يسمع ليعلم ، ويعلم ليعمل ويتفقه فى دين الله لينتفع وينفع ، فقد صار طالب العلم الآن يسمع ليجمع ، ويجمع ليذكر ، ويحفظ ليغالب ويفخر .
“Dulu yang menjadi tujuan seorang penuntut ilmu adalah mendengar untuk mengetahui, mengetahui untuk diamalkan dan memahami agama Allah secara mendalam agar bermanfaat bagi diri sendiri dan memberi manfaat bagi orang lain. Tapi sekarang yang menjadi tujuan seorang penuntut ilmu adalah mendengar untuk mengumpulkan, mengumpulkan untuk disebut, menghafal untuk menang (dalam debat) dan memiliki kebanggaan.”
وكان المتناظرون فى الفقه يتناظرون فى الجليل من الواقع والمستعمل من الواضح وفيما ينوب الناس فينفع الله به القائل والسامع ، فقد صار أكثر التناظر فيما دق وخفي وفيما لا يقع وفيما قد انقرض من حكم الكتابة وحكم اللعان ورجم المحصن ، وصار الغرض فيه إخراج لطيفة وغوصا على غريبة وردا على متقدم .
“Dulu orang-orang berdebat dalam masalah-masalah yang besar dan berangkat dari realita; masalah-masalah praktis yang diperlukan sehari-hari serta berkaitan erat dengan masyarakat. Sehingga perdebatan itu bermanfaat bagi peserta dan pendengar. Tapi setelah itu perdebatan yang terjadi lebih pada sesuatu yang sangat ‘halus’, tidak tampak dan tidak berangkat dari realita ; tentang hukum al-kitabah, li’an, dan rajam yang sudah ‘punah’. Sehingga yang menjadi tujuan dari perdebatansemacam ini adalah untuk mendapatkan sesuatu yang unik, menyelami sesuatu yang asing dan membantah pendapat sebelumnya.”
فهذا يرد على أبي حنيفة وهذا يرد على مالك وآخر يرد على الشافعي بزخرف من القول ولطيف من الحيل كأنه لا يعلم أنه إذا رد على الأول صوابا عند الله بتمويهه فقد تقلد المآثم عن العاملين به دهر الداهرين .
“Si A membantah Imam Abu Hanifah, si B membantah Imam Malik, si C membantah Imam Syafii dengan kalimat yang dipoles sedemikian rupa dan hilah-hilah yang sengaja dibuat-buat. Seolah-oleh ia tidak tahu bahwa kalau ia membantah sesuatu yang ternyata benar di sisi Allah dengan cara-cara yang membuat orang tertipu maka sesungguhnya ia akan menanggung dosa orang-orang yang mengikuti kesalahannya itu selama-lamanya.”
وهذا يطعن بالرأي على ماض من السلف وهو يرى وبالابتداع فى دين الله على آخر وهو يبتدع
“Si A membantah pendapat ulama terdahulu yang dinilainya menggunakan logika, sementara ia sendiri menggunakan logika (tanpa disadarinya). Ia tuduh orang lain melakukan bid’ah dalam agama, sementara ia sendiri melakukan sesuatu yang bid’ah.”
وكان المتناظرون فيما مضى يتناظرون فى معادلة الصبر بالشكر وفى تفضيل أحدهما على الآخر وفى الوساوس والخطرات ومجاهدة النفس وقمع الهوى ، فقد صار المتناظرون يتناظرون فى الاستطاعة والتولد والطفرة والجزء والعرض والجوهر فهم دائبون يخبطون فى العشوات قد تشعبت بهم الطرق وقادهم الهوى بزمام الردى .
“Dulu orang-orang berdebat mengenai rumus kesabaran dan kesyukuran, mana yang lebih utama (sabar atau syukur), tentang waswas, lintasan pikiran, melawan nafsu dan mengendalikan hawa. Tapi sekarang orang-orang berdebat tentang istitha’ah, thufrah, juz’, ‘aradh, dan jauhar (istilah-istilah dalam dunia filsafat). Akhirnya mereka selalu terombang-ambing, tidak tahu jalan, dan pada akhirnya hawa nafsu menjerumuskan mereka pada kebinasaan.”
Baca Juga: Ketika Imam Syafi’i Terdiam dalam Sebuah Perdebatan
***
Yang unik, setelah siswa yang polos itu membid’ahkan amalan jamaah masjid tersebut, di akhir ceramahnya ia meminta dengan kerendahan hati infak, sedekah dan zakat jamaah untuk kelanjutan pembangunan madrasah atau pesantren yang telah mengutusnya untuk ceramah di masjid tersebut.
(Foto adalah dokumentasi Wirid Kajian Tazkiyatun Nafsu di Masjid Nurul Huda Simpuruik – Batusangkar. Jazakallahu khairan Ustadz Dafri)
Leave a Review