Belum genap satu dekade semenjak dideklarasikan, sekolah-sekolah dengan nama ‘Tarbiyah Islamiyah’ sudah berkembang sangat pesat. Dalam pertemuan sejumlah ulama di Canduang pada tahun 1928, baru ada tujuh sekolah dengan nama Madrasah Tarbiyah Islamiyah (MTI). Pada tahun 1937, tercatat sudah ada 137 MTI. Pada tahun 1942, diperkirakan sudah ada 300 sekolah Tarbiyah Islamiyah yang tersebar di Pulau Sumatera, bahkan sampai Kalimantan, dengan jumlah murid mencapai 45000 orang. Angka-angka ini, barangkali melampaui ekspektasi para buya yang mendeklarasikan madrasah tarbiyah islamiyah kala itu.
Di masa itu, arus informasi dan mobilitas manusia tentu tidak sederas sekarang. Butuh berhari-hari untuk menempuh jarak yang saat ini bisa dicapai hanya dengan beberapa jam saja. Belum lagi saat menghadapi pemerintah Belanda yang banyak cincong itu. Tidak sekali dua kali, sekolah-sekolah agama dan para ulama dipreteli oleh mereka. Bahkan, sebagian di antara mereka harus terlibat konfrontasi fisik. Di atas sekelumit persoalan itu, perkembangan sekolah Tarbiyah Islamiyah tetap melaju pesat.
Mengapa sekolah-sekolah tersebut bisa menggunakan nama yang sama? Padahal, satu sekolah dengan sekolah yang lain tidak diikat dalam hubungan hierarkis. Dalam artian, sekolah A bukanlah cabang dari sekolah B: MTI Tobek Godang bukanlah cabang dari MTI Jaho; MTI Jaho bukanlah cabang dari MTI Batu Ampa; demikian seterusnya. Nama Tarbiyah Islamiyah juga bukan semacam lisensi, usaha perikatan, atau waralaba, di mana setiap unit yang akan dikembangkan dengan nama yang sama mesti mendapat persetujuan dari si pemiliknya dengan membayar sejumlah imbalan. Apa hal yang menyatukan mereka, setidaknya dalam menggunakan nama Tarbiyah Islamiyah? Barangkali, penggalan-penggalan cerita berikut bisa membantu memahami fakta ini.
***
Suatu kali, saat nyantri dulu, seorang buya berpesan kepada kami: “Setelah dapat ijazah nanti, jadilah kalian sebagai urang siak batoko, jangan terlalu lama jadi urang siak bakaki limo, apalagi urang siak bajojo!”. Pesan itu adalah pesan yang juga ia dapatkan dulu dari buyanya. ‘Urang siak’ adalah istilah orang Minang untuk menyebut kalangan surau atau pesantren, seperti istilah ‘kaum santri’ kalau di Jawa. Secara leksikal, batoko berarti memiliki toko, bakaki limo berarti menjadi pedagang kaki lima (PKL), dan bajojo berarti menjajakan dagangan dengan berjalan kaki (asongan). Sang buya menggunakan terminologi dunia dagang untuk menyampaikan pesan. Tentu saja maksudnya bukan untuk mendorong kami berdagang, apalagi memperdagangkan kaji (ilmu agama). Penggunaan istilah-istilah perdagangan secara metaforis adalah hal yang biasa dilakukan orang Minang dalam berinteraksi.
Pesan moril yang ingin disampaikan buya tersebut adalah agar para anak siak berkekuatan hati mengembangkan ilmu agama yang didapatnya di kampung masing-masing dengan cara mendirikan sekolah. Tidak salah memang menjadi juru dakwah atau da’i yang berpindah-pindah dari satu mimbar ke mimbar lain, mengunjungi masjid demi masjid, atau mendatangi surau dan mushalla. Namun, alangkah lebih baiknya jika ilmu tersebut disampaikan secara terukur di majlis khusus. Lebih dari itu, Imam Syafi’i pernah berpesan bahwa “ilmu itu harus didatangi, bukan mendatangi, bahkan terhadap penguasa sekalipun”.
Baca Juga: Tarekat sebagai Tradisi Madrasah Tarbiyah Islamiyah
***
Di Juni 2016, saya mampir ke sebuah bangunan semi permanen bekas madrasah. Bangunan itu terletak di pinggir Sungai Batang Seringat, di desa paling ujung di Kec. Sungai Manau, Kab. Merangin, Jambi. Kedatangan saya ke tempat ini bukan karena sengaja ingin ke madrasah tersebut, tapi karena ada urusan lain. Bangunan itu tampak sudah menua dan tak terurus, beberapa papan dindingnya sudah lapuk, dan pintunya selalu terbuka. Saya bertanya kepada seorang laki-laki tua yang kebetulan lewat: “ini bangunan apa?”. Ia menjawab: “Madrasah, namanya Madrasah Tarbiyah Islamiyah”.
Singkat cerita, saya pun bertemu pendiri madrasah ini. Namanya H. Rusli, bergelar Datuk Sutan Marajo Lelo. Sambil duduk bersila di rumah panggung berlantai papan milik keluarga istrinya ini, Rusli bercerita banyak hal seputar pendirian madrasah ini. Sampai saya menanyakan satu hal: “mengapa buya menamai madrasah ini dengan Tarbiyah Islamiyah?”. Rusli pun berdiri dan menuju sebuah lemari kayu di bagian belakang ruang tengah rumah ini. Ia membawa map plastik berisi banyak dokumen, lalu mengeluarkan satu lembar dan memperlihatkannya ke saya sambil berujar “ini alasannya”. Tampak selembar kertas yang sudah compang-camping bekas dimakan rayap, tulisan di atasnya agak kabur, tapi masih bisa dibaca: “MADRASAH MENENGAH ATAS TARBIYAH ISLAMIYAH – SEKOLAH PERTI – JAHO PADANG PANJANG”. Itulah ijazah yang diperoleh Rusli pada tahun 1977 dari Madrasah Tarbiyah Islamiyah Jaho. Ijazah itu ditandatangani oleh Guru Besar H.M. Dalil Syarief Dt. Maninjun.
Apa yang diharapkan Rusli dengan mendirikan madrasah tersebut? Tentu saja bukan materi, juga bukan taburan puja-puji. Materi apa yang hendak ia kejar dengan mendirikan sekolah di negeri terujung yang jalannya tak beraspal, tak ada listrik, dan sinyal telepon itu? Ijazah compang-camping yang ia perlihatkan tadi menunjukkan bahwa Rusli hanya ingin mewakafkan dirinya menjadi ‘pelayan’ bagi anak-anak kampung dalam belajar agama, serta memimpin pengajian-pengajian dan salat berjamaah bagi orang-orang sekitarnya. Ia sedang mengamalkan pesan gurunya untuk menjadi urang siak batoko. Dengan dasar ijazah itu jugalah ia menamakan madrasah tadi dengan nama ‘Tarbiyah Islamiyah’. “Karno kito dapat ijazah dari madrasah tarbiyah islamiyah, kita diijazahkan oleh Buya Datuk Malinjun, mako kito pakai bae namo itu untuk madrasah di dusun ini”, ungkap Rusli.
Baca Juga: Ashhabul Yamin dan Pentingnya Pendidikan Islam di Lasi
***
Di kampung saya, Supayang, Tanah Datar, pernah berdiri sebuah madrasah yang juga bernama Tarbiyah Islamiyah. Madrasah ini didirikan pada 1960-an oleh Buya M. Syatar, alumni MTI Tanyuah Batu Ampa. Kata orang-orang kampung, selain menjadi murid Buya Kanis Tuangku Tuah, M. Syatar juga sudah dianggap sahabat olehnya. Hal ini adalah tradisi para ulama dan fuqaha, di mana jika murid sudah dianggap alim, maka ia tidak lagi diperlakukan sebagai murid, melainkan sebagai sahabat. Madrasah ini bertahan sampai tahun 1980-an. Lalu di tahun 1990-an, beberapa orang yang pernah mengaji di MTI Tanyuah berusaha mendirikan kembali madrasah ini. Sempat bertahan beberapa tahun, tapi akhirnya tutup lagi sebelum tahun 2000.
Bedanya dengan MTI yang didirikan Buya Rusli tadi, MTI Buya Syatar ini sering dikunjungi oleh guru yang juga telah jadi sahabatnya itu, Buya Kanis Tuanku Tuah. Buya Syatar sering diajak mendiskusikan berbagai persoalan oleh Buya Kanis, termasuk mendiskusikan pelajaran-pelajaran di MTI Tanyua yang belum tuntas dibahas, atau biasa diistilahkan dengan kaji tasangkuik. Sementara, MTI Buya Rusli tidak pernah dikunjungi oleh guru atau teman-temannya, meskipun ia sebenarnya selalu rindu bertemu teman-temannya itu, salah satunya cucu Inyiak Jaho, Buya Asmuji Ra’is Jamili yang sekarang menjadi kepala tingkat aliyah di MTI Jaho.
Titik persamaan kedua sekolah ini, meskipun hanya dimaksudkan sebagai tempat belajar anak-anak kampung dan tidak meniru kurikulum atau kitab-kitab yang diajarkan di almamaternya seutuhnya, namun para pendiri madrasah ini merasa bahwa dirinya tidak bisa dilepaskan dari semangat Tarbiyah Islamiyah. Saya kira, semangat inilah yang mendorong para ‘Tarbiyyin’ berlomba-lomba mendirikan MTI di kampungnya masing-masing, sehingga dalam rentang kurang dari satu dekade saja, jumlah MTI sudah mencapai 137, bahkan lebih. Dari sini juga, mungkin kita bisa memahami, mengapa dalam dua dekade terakhir ini MTI mengalami penurunan yang sangat signifikan. Tidak sedikit MTI-MTI bersejarah dan punya peran besar dulunya, sekarang hanya tinggal papan nama. Terlalu perih untuk diceritakan.[]
Leave a Review