scentivaid mycapturer thelightindonesia

Usaha Menyatukan Pendidikan Agama dan Umum

Usaha Menyatukan Pendidikan Agama dan Umum

Memperdalam ilmu agama Islam, berarti mempelajari secara mendalam segala bidang ilmu, karena semua ilmu adalah ilmu Islam, baik yang dinamakan al-ulumul naqliah maupun al-ulumul aqliah, baik yang dinamakan dengan ilmu-ilmu sosial maupun ilmu eksakta.

(A. Hasjmy dalam “Konsepsi Ideal Darussalam’’)

Ilmu agama, ilmu umum, pengetahuan agama, pengetahuan umum, kata-kata tersebut sering kita dengar dalam kehidupan sehari-hari. Seolah-olah ada pengotakan dan penggolongan dalam ilmu dan pengetahuan. Penggolongan tersebut sedemikian bermasalah ketika institusi pendidikan, sebagai tempat mendapatkan ilmu dan pengetahuan, juga ikut terkotakan karenanya, sekolah agama dan sekolah umum. Kenapa demikian bisa terjadi dan apa jalan keluar dari pengotakan yang jamak ditemui tersebut? Pertanyaan inilah yang ingin dijawab Karel A. Steenbrink dalam bukunya Pasantren, Madrasah, Sekolah; Pendidikan Islam dalam Kurun Modern.

Steenbrink adalah seorang Katolik Belanda. Ia menamatkan pendidikan (1970) di Fakultas Teologi Universitas Katolik Nijmegen, Jurusan Studi Agama Islam, dengan gelar Drs. Namun dunia kampus tidak menjawab kegelisahannya soal pendidikan Islam. Kampus lebih banyak bergelut di ranah teoretis dan buku. Ia ingin mencari pengalaman lapangan. Sebab itulah pada 1970 yang juga tahun kelulusannya, Steenbrink menyusun proposal penelitian di Indonesia. Dalam penjelasan proposalnya, Steenbrink ingin melakukan studi kebangkitandunia Islam abad ke-20 yang dipelopori oleh kaum reformis. Proposal tersebut diterima oleh sebuah yayasan swasta dan ia pun berangkat ke Indonesia.

Penelitian yang nantinya akan disusun menjadi buku ini mengambil objek sistem pendidikan Islam Indonesia kurun abad 19 hingga awal abad 20. Sejarah pendidikan umum, khususnya pendidikan Islam, negosiasi sistem pendidikan pesantren dengan sistem pendidikan kolonial, dan sistem pendidikan umum setelah Indonesia merdeka adalah sub-sub pembahasan yang dikajinya.

www.tarbiyahislamiyah.id

Dalam sistem pendidikan pesantren, Steenbrink menyoroti kurikulumnya. Steenbrink melihat pesantren dalam dua bentuk, tradisional dan modern. Pesantren Tradisional adalah Institusi pendidikan Islam yang tidak memasukkan kurikulum pelajaran umum. Sedangkan Pesantren modern sebaliknya, mengadopsi pelajaran umum dalam kurikulum pendidikannya.

Baca Juga: Bung Hatta Pendidikan Politik

Pesantren dalam Dualisme Pendidikan

Pada awalnya, pendidikan Islam berisi tentang pengajian al-Quran, mempelajari huruf-huruf Arab, tata tertib salat, wudhu’ dan beberapa doa. Pengajaran tersebut diberikan di rumah guru, surau, Langgar, dan rumah orang tua murid yang mempunyai kedudukan penting. Pembelajaran ini terhitung selesai apabila si murid telah mampu melafalkan al-Quran. Biasanya pembelajaran ditutup dengan upacara tammatan atau khataman. Setelah khataman, murid dapat melanjutkan mengaji kitab yang dilaksanakan di pesantren.

Di abad-19, pendidikan seperti itu dinilai jelek oleh pemerintah kolonial Belanda. Pasalnya, metode itu hanya berorientasi pada pengafalan teks Arab tanpa pengertian. Hal tersebut diungkapkan J.A. Van Der Chijs, pegawai pemerintahan Belanda pertama yang mengurusi pendidikan bukan orang Eropa (1865). Pendidikan didaktis pribumi begitu jeleknya, tidak dapat membantu perkembangan pendidikan umum. Padahal pemerintah kolonial Belanda kebutuhan pegawai di Gubernumen. Kebutuhan tersebut tidak bisa di harapkan dari sekolah Islam. Maka pada 1870, berdirilah sekolah “pendidikan rakyat” bikinan Belanda dan terus tersebar ke pedesaan hingga awal abad-20.

Ketika timbul keinginan untuk terus mengembangkan sistem pendidikan umum di pergantian abad ke-20, beberapa tokoh mencari kemungkinan untuk mengembangkan model pendidikan Islam ke arah tersebut. Namun penggabungan sistem tersebut tidak terlaksana. Pemerintah kolonial Belanda tak mau ikut campur dalam persoalan Islam. Akibatnya, pemerintah kolonial Belanda tidak memberikan subsidi kepada sekolah Islam. Semenjak itu, sistem pendidikan Islam berjalan sendiri dan berbeda dengan sistem pendidikan Belanda.

Dalam perjalanan sistem pendidikan Islam, guru-guru yang mengajar di sekolah Islam sudah banyak mendapatkan model pendidikan Barat, karena latar belakang mereka yang memang langsung mengenyam pendidikan Belanda. Hal tersebut tidak mengherankan, karena pada 1938 sepertiga anak usia sekolah Indonesia sudah memasuki sekolah yang dikembangkan kolonial Belanda, seperti HIS (Hollandsch-Inlandsche School), Sekolah Desa, dan Vervolgschool. Selain itu, juga terdapat guru-guru agama yang belajar Islam ke Malaysia, India, Mesir yang juga mengenyam pendidikan model Barat. Dengan kondisi seperti itu, Steenbrink menyebutkan bahwa guru di pesantren juga tidak bisa lepas dari perkembangan pendidikan umum.

Meskipun ada guru yang telah mendapatkan pendidikan Barat, perbedaan antara pendidikan agama dan umum tetap terjadi. Steenbrink melihat perbedaan itu karena perbedaan orientasi pendidikannya ketika itu. Pendidikan agama berorientasi pada pengetahuan, keterampilan dan penghayatan agama, sedangkan pendidikan kolonial Belanda berorientasi kepada pengetahuan dan keterampilan duniawi. (lihat halaman 24).

Tanpa disadari perbedaan tersebut telah menjadi cikal bakal dualisme pendidikan di Indonesia.

Baca Juga: Sosiologi Pendidikan Syekh Sulaiman Arrasuli Inyiak Canduang dalam Buku “Kisah Muhammad Arif” Bagian #2″

Penyatuan Pendidikan Agama dan Umum

Di awal abad ke-20, Steenbrink menilai umat Islam mulai melakukan pembaruan di bidang pendidikan, meskipun masih berjalan sendiri-sendiri. Pembaruan yang muncul dari inisiatif sendiri dan dari gerakan reformis ketika itu ditandai dengan dimasukkannya pelajaran umum di samping pelajaran agama.

Sesuatu yang baru tidak langsung diterima oleh masyarakat, begitu juga dengan pembaharuan pendidikan di kalangan umat Islam sendiri. Pembaharuan yang dilakukan gerakan reformis mendapatkan perlawanan dari gerakan tradisional. Seperti pembaruan yang dilakukan oleh kaum Mudo (reformis) di Minangkabau, mendapatkan perlawanan dari kaum Tuo (tradisional). Kelompok tradisional akhirnya ikut melakukan pembaruan di bidang pendidikan seperti yang telah dilakukan oleh gerakan reformis. MadrasahTarbiyah Islamiyah sebagai institusi pendidikan Islam di Sumatera Barat, tak lepas dari polemik tersebut.

Judul : Pesantren, Madrasah, Sekolah; Pendidikan Islam dalam Kurun Waktu Modern

Penulis : Karel A. Steembrink

Jumlah hal : XIX + 260

Penerbit : LP3ES

Cet I : Februari 1986

Setelah Indonesia merdeka, berdiri Departemen Agama (1946) yang sekarang disebut Kementrian Agama. Kementrian Agama mendapatkan tugas baru, yaitu mengurusi bidang pendidikan. Dalam menjalankan tugasnya, Kementrian Agama mencoba menyatukan pendidikan “agama dan umum’’. Dalam menjalankan tugas tersebut, Kementrian Agama meramunya dengan mendirikan madrasah. Tak hanya itu, Kementrian Agama juga memasukkan pendidikan agama ke dalam sekolah umum.

Di madrasah, Kementrian agama memakai sistem kelas. Sekolah agama yang memakai sistem kelas ketika itu dinamakan dengan madrasah, apakah pelajaran yang diberikan campuran antara agama dan umum, atau pelajaran agama seluruhnya (lihat halaman 88). Dalam perjalanannya, Kementrian agama terus berusaha memodernkan pesantren yang tradisional. Di sisi yang lain, departemen agama juga memberikan bantuan kepada madrasah.

Lantas, bagaimana tanggapan dari pemikir Islam dengan penggabungan pelajaran agama dan umum?

Pemikir Islam yang dikutip Steenbrink dalam buku ini, berbeda pendapat tentang penggabungan pendidikan agama dan umum, seperti yang telah dijelaskan di atas. Pertama, menerima serta memberikan penghormatan terhadap pendidikan umum. Kedua, keberatan menggabungkan keduanya.

Pendapat pertama, diwakili oleh Muhammad Natsir, Sidi Gazalba, A. Hasjmy dari Aceh, dan kelompok reformis. Alasan yang mereka ungkapkan hampir sama, yaitu bahwa ilmu modern, ilmu Barat, ilmu dunia harus diintegrasikan dengan konsep lama, ilmu pengetahuan tradisional, pengetahuan agama, pengetahuan akhirat.

Memasukan pelajaran agama dan umum, tak lepas juga dari usulan Soekarno. Hal tersebut terlihat ketika Soekarno mengirim surat kepada salah satu pemilik pesantren, yaitu A. Hassan (1936). Soekarno mengatakan bahwa hendaknya diberikan tambahan pengetahuan Barat kepada murid yang belajar di pesantren. Soekarno menyayangkan bahwa Islam scholars yang dimiliki Indonesia sangat kurang dengan pengetahuan modern dan science. Soekarno menambahkan, demi Allah, Islam science bukan hanya pengetahuan al-Quran dan hadis saja. Islam science adalah pengetahuan al-Qur’an, hadis, dan pengetahuan umum’’.

Ide Soekarno ini dikembangkan oleh Buya Hamka, “jika pengaturan itu berhasil, maka akan lahir seorang intelegensia’’, ungkap Buya Hamka (lihat halaman 227 dan baca juga Di Bawah Bendera Revolusi halaman 335-336). Pendapat kedua, secara rinci Steenbrink tidak menyebutkan tokoh yang berpendapat. Steenbrink menyinggung kembali keberatan gerakan tradisional sebelum mengikuti reformis seperti yang telah dijelaskan di atas. Selanjutnya, Steenbrink mengatakan bahwa keberatan muncul dari masyarakat Indonesia. Steenbrink melihat dari penilaian masyarakat yang menganggap gagalnya sistem madrasah dalam membentuk fungsionalis agama, terdapat “ketakutan’’ masyarakat akan hilangnya orang yang cakap dalam agama, seperti membaca bahasa Arab yang tidak berbaris (lihat halaman 232-234).

Dari tulisan di atas, kita menemukan bentuk dualisme pendidikan, usaha untuk menyatukan keduanya (agama dan umum), serta lahirnya madrasah sebagai salah satu bentuk penyatuan. Namun menurut Steenbrink, sistem madrasah belum cukup dikatakan sebagai penyatuan. Madrasah belum bisa disebut final. Selain itu, dalam penulisan buku ini, Steenbrink juga mengakui kekurangan data yang didapat dalam melakukan penelitian. Namun, dari pembahasan di atas dan melihat kondisi sekarang, dapat dimunculkan pertanyaan; bukankah dengan memisahkan (pendidikan agama dan umum) umat Islam menyulitkan diri sendiri? Malahan, jika kita lihat sekarang, jika ada suatu “penemuan’’ yang berangkat dari ilmu umum, sebagian umat Islam menyebutnya bahwa hal tersebut sudah ada dalam al-Quran. Selain itu, Islam selaku agama yang rahmatan lil ‘alamin, harusnya ambil andil dalam setiap disiplin keilmuan. Karena jika tidak, bisa jadi umat Islam menutup mata atau menyuruh umat bersabar dengan persoalan-persoalan umat yang sebenarnya bisa dipelajari.[]

Desip Trinanda
Alumni UIN Sunan Kalijaga Yogyakrta dan aktif berdiskusi di Surau Tuo Institute Yogyakarta.