Ushul dan Furu’ Ushul dan Furu’ Ushul dan Furu’ Ushul dan Furu’
Oleh: Yendri Junaidi
Ahmad punya sahabat bernama Ali. Ahmad mengenal Ali sebagai seorang pendiam. Penilaian Ahmad ini tidak hanya dari apa yang ia lihat dari pembawaan Ali, tapi juga dari informasi orang-orang yang juga mengenal Ali yang mungkin lebih lama dari Ahmad. Bahkan, orang tua Ali pun juga dikenal sebagai sosok yang tidak banyak bicara. Berdasarkan semua itu, Ahmad sering mengatakan pada orang-orang bahwa Ali sahabatnya ini adalah seorang pendiam.
Suatu ketika, Usman, teman Ahmad yang lain, berkata pada Ahmad, “Kamu mengatakan bahwa Ali pendiam. Tapi tadi aku melihatnya berbicara dengan seseorang di pasar, di tengah keramaian dengan suara yang tinggi. Ia tampak berbicara dengan sangat santai. Tak sedikitpun ia tampak malu atau sungkan seperti kebanyakan orang pendiam.”
Mendengar informasi ini, apakah Ahmad akan langsung percaya begitu saja? Apakah ia akan berkata, “Oke, berarti selama ini saya salah. Ternyata ia bukan seorang pendiam.”
☆☆☆
Sebagai seorang yang menggunakan akal sehatnya, Ahmad tidak akan percaya begitu saja pada informasi tadi. Tidak mudah meruntuhkan penilaiannya selama ini tentang sifat Ali yang pendiam, yang disimpulkannya dari banyak hal; orang-orang yang pernah dekat dengan Ali, sifat orang tuanya yang juga pendiam, dan interaksinya secara langsung dengan Ali, hanya karena satu informasi.
Ahmad juga tidak akan buru-buru mengatakan bahwa Usman berbohong. Ada banyak kemungkinan yang bisa dikemukakan; boleh jadi Usman salah lihat. Orang yang dikiranya Ali sebenarnya bukanlah Ali. Atau boleh jadi Ali berbicara dengan sahabat masa kecilnya yang sudah lama tak berjumpa. Sehingga saking gembiranya ia ‘keluar’ dari sifat aslinya. Artinya, informasi yang disampaikan Usman tidak serta-merta membuat Ahmad mengubah penilaiannya tentang sifat sahabatnya Ali sebagai seorang pendiam. Pada akhirnya, informasi dari Usman ini sifatnya adalah kasuistik (واقعة عين).
Baca Juga: Apakah Ahli Fikih Itu Ahli Hadis Juga?
☆☆☆
Ilustrasi di atas sedikit banyak bisa memberikan gambaran tentang apa yang disebut dengan Ushul dan Furu’. Penilaian Ahmad tentang pribadi Ali dari berbagai sumber adalah Ushul, sementara informasi dari Usman adalah Furu’.
Ushul adalah hal-hal mendasar yang menjadi fondasi berpikir bagi para ulama dalam melakukan istinbath. Ushul ini yang dijadikan pijakan oleh para ulama untuk menilai hukum satu kasus atau peristiwa. Penilaian ini nantinya yang lahir menjadi sebuah fatwa.
Ketika para ulama dihadapkan pada satu peristiwa atau ditanya tentang hukum sebuah perbuatan, mereka tidak sekadar mencarikan ayat atau hadis yang berkaitan dengan peristiwa atau kasus yang ditanyakan itu, lalu memberikan jawaban, ‘Ini boleh” atau “Ini tidak boleh”. Mereka akan menghadapkan masalah tersebut kepada ushul yang telah mereka tetapkan. Dan ushul itu tidak ditetapkan dari satu atau dua nash (baik ayat atau hadis), melainkan dari kumpulan ayat dan hadis yang jumlahnya kadang tak terhitung. Ushul ini yang kemudian dituangkan dalam bentuk kaidah. Maka, tidak perlu heran, apalagi sembarang membantah, kalau para ulama memberikan fatwa dengan didasarkan kepada satu kaidah. Tahan-tahan untuk berkata, “Kenapa yang digunakan sebagai dasar adalah kaidah, bukan ayat atau hadis?” Karena nanti jawaban yang Anda terima biasanya, “Belajar Ushul Fiqih lagi ya…”.
Ketika para ulama dihadapkan pada sebuah hadis yang dihukumi sahih oleh sebagian ulama, dan hadis itu ‘sekilas’ berbeda dengan yang mereka fatwakan, mereka tidak langsung menarik kembali fatwanya lalu mengatakan, “Sami’na wa Atha’na…” Hadis tunggal itu akan mereka hadapkan dulu kepada Ushul yang ada, apakah sejalan atau tidak. Kalau sejalan dan tidak ada alasan untuk tidak menerimanya maka mereka akan segera menerimanya, karena mereka adalah orang-orang yang sangat cepat kembali kepada kebenaran dan tidak pernah gengsi mengakui kekhilafan.
Tapi kalau ternyata hadis tersebut tidak sejalan dengan Ushul yang ada, maka mereka akan melakukan takwil atau menolaknya sama sekali. Lalu apakah dengan begitu berarti mereka menolak hadis? Tunggu dulu. Mereka baru bisa dikatakan menolak hadis kalau mereka mendengarkan langsung hadis itu keluar dari mulut mulia Rasulullah Saw lalu mereka tidak menerimanya. Adapun ketika hadis itu disampaikan melalui jalur periwayatan, maka ruang untuk ijtihad menjadi sangat terbuka. Ini dalam konteks hadis tersebut bertentangan dengan Ushul yang telah mereka tetapkan.
☆☆☆
Diantara pembahasan Ushul yang banyak dikaji, misalnya, tentang ‘umumul balwa; sesuatu yang seharusnya dinukilkan secara masif dan massal (ما عمت به البلوى), tapi ternyata hanya dinukil oleh segelintir orang saja, ini tentu menimbulkan keraguan untuk menerimanya begitu saja. Kalau seorang rawi (khususnya rawi dari kalangan sahabat) mengamalkan sesuatu berbeda dengan hadis yang diriwayatkannya, ini juga menimbulkan keraguan untuk menerima substansinya secara apa adanya. Hadis yang tidak ada dalam pengalaman Ahlul Madinah juga diragukan kevalidan dan substansinya. Dan masih banyak lagi yang lainnya.
Apakah semua ulama sepakat dalam seluruh Ushul itu? Tidak juga. Istihsan yang dijadikan sebagai salah satu Ushul oleh kalangan Hanafiyyah ternyata ditolak oleh Imam Syafii. Walaupun tentunya, perlu dilihat juga model istihsan yang bagaimana yang ditolak oleh Imam Syafii. Karena sebagian ulama Hanafiyyah mengatakan, meskipun Imam Syafii menolak istihsan dengan ucapannya yang sangat populer :
من استحسن فقد شرع
“Siapa yang menggunakan istihsan berarti ia telah membuat syariat.”
Tapi sebenarnya beliau pun juga menerapkannya, meski tidak dengan nama istihsan.
Baca Juga: Konsep Maqāṣid al-Sharī’ah Ibn Qayyim al-Jauziyyah dalam Pemahaman Hadis Nabawi
☆☆☆
Kesimpulannya, tidak ada seorang muslim pun, apalagi ulama, yang berani menolak hadis Rasulullah Saw. Apa yang dinilai sebagai penolakan sesungguhnya memiliki latar belakang cukup rumit dan tidak sederhana seperti yang tampak sekilas.
Kalau Ahmad saja, dalam ilustrasi di atas, tidak akan menerima informasi dari Usman begitu saja tentang Ali yang sudah dikenalnya sebagai seorang pendiam hanya gara-gara satu informasi yang boleh jadi saja keliru atau ada faktor lain yang perlu ditelisik lebih jauh, apalagi ulama yang sudah mewakafkan hidup mereka untuk ilmu, menetapkan Ushul lalu menurunkannya menjadi kaidah, bukan dari satu atau dua ayat dan hadis, melainkan dari puluhan, ratusan atau bahkan ribuan nash, serta dikuatkan dengan pemahaman yang mendalam tentang ruh dan maqashid Syari’ah. Apakah mungkin mereka meninggalkan Ushul yang sudah kokoh itu hanya karena satu atau dua hadis yang dinilai sahih oleh satu atau beberapa ulama hadis?
Mari pahami cara berpikir mereka sebelum menilai hasil fatwa mereka.[]
والله تعالى أعلم وأحكم
Leave a Review