Di kampung, ia mubaligh muda. Tiap Jum’at beroleh undangan jadi khatib. Bergilir dari satu jama’ah ke jama’ah lain. Dari mesjid sekitar kampung hingga mesjid di ibukota kabupaten. Hari lain, ia memberi pengajian di musholla Nur Al-falah, majelis ta’lim di musholla Bait Al-rahman, dan kuliah subuh di musholla Siraj Al-huda. Selebihnya, memenuhi undangan syukuran khitanan, hajatan perkawinan dan sesekali beroleh kehormatan baca doa pada upacara pelantikan pejabat baru di kantor Bupati.
Para jamaah memanggilnya : “ustadz”. Lengkapnya ustadz Andaru. Tanpa embel-embel titel sarjana semisal Drs, S.Ag, B.A di depan atau di belakang namanya itu. Sebab, ia memang bukan sarjana. Setelah menamatkan pendidikan tingkat aliyah di pesantren Syekh Adimin Ar-Raji, Andaru memilih jalan hidup sebagai mubaligh. Sejak masih berstatus santri, Andaru sudah menekuni seluk beluk dunia dakwah. Tak asing lagi dengan mimbar khutbah, wirid atau majelis ta’lim. Dari hari ke hari ia melatih keterampilan berorasi, bersilat lidah di hadapan jama’ah. Tak henti-hentinya memperdalam ilmu retorika klasik seperti ma’ani, bayan, dan badi’. Dikonsepnya ungkapan-ungkapan yang berisi kearifan spritual untuk menggugah keinsyafan umat dari kekhilafan, kesalahan dan dosa-dosa. Lengkap dengan kutipan ayat-ayat, hadist-hadist, dan penggalan syair-syair sufi yang diperolehnya dari kitab-kitab kuning.
Kehadirannya ditunggu-tunggu. Lantang suaranya saat berkhutbah di mimbar Jum’at selalu dinantikan umat. Andaru benar-benar mubaligh laku. “Orang yang berjihad di jalan Tuhan, selalu mudah beroleh rejeki”. Begitu keyakinan yang teguh dipegangnya sejak dulu. Memang benar adanya. Honorarium yang diterima Andaru setiap Jum’at saja, cukup untuk hidup satu sampai dua minggu. Belum lagi amplop dari wirid, berceramah, dan baca doa di hari lain. Pendapatan perbulan ustadz Andaru lebih besar dari gaji pegawai negeri golongan tiga. Seberapa lah kebutuhan lelaki lajang seperti Andaru? Tidak merokok, tak suka kongko-kongko di lepau kopi, tinggalnya pun masih di rumah orangtua.
Andaru tak perlu bersusah-susah nyari kerja ke kota. Predikat ustadz menyelematkannya dari kesulitan mencari pekerjaan seperti yang dialami teman-teman seusianya. Ia dianggap anak muda sukses. Tak perlu banting tulang dan peras keringat. Cukup menyiapkan materi khutbah, wirid atau ceramah, mengisi jadwal yang sudah ditentukan. Setelah itu, terima honor. O, betapa enaknya jadi mubaligh!
***
Kini, Andaru sudah di Jakarta. Sejak menikah sebulan lalu, dengan berat hati ia harus merantau. Meninggalkan mimbar-mimbar khutbah, majelis ta’lim dan pengajian rutin. Meninggalkan pekerjaan yang selama ini menghidupinya. Meninggalkan setumpuk jadwal pengajian yang selalu berbuah bayaran.
“Orang-orang
Jakarta juga butuh mubaligh sepertimu” kata ibu mertua meyakinkan Andaru.
“Orang yang berjihad di jalan Tuhan, akan mudah rejekinya”
“Semoga kau menjadi Da’i kondang di Jakarta”
Annisa, perempuan yang kini sudah jadi istri Andaru memang berasal dari kampung yang sama. Tapi, setelah tamat SD ia diajak saudaranya ke Jakarta. Melanjutkan sekolah di sana. Tak hanya sampai SMU, Annisa bersekolah hingga sarjana. Kini, perempuan itu bukan lagi Annisa yang dikenal Andaru sewaktu di kampung dulu, tapi Annisa yang sudah dewasa, berstatus sebagai pengajar (di kampung orang lebih suka menyebutnya “dosen”) di sebuah perguruan tinggi swasta bergengsi. O, betapa mujurnya nasib Andaru!
Annisa tak mengira bakal berjodoh dengan ustadz jebolan pesantren, yang konon sedang diperebutkan jamaah ibu-ibu. Khususnya ibu-ibu yang punya gadis perawan. Mereka ingin pilih Andaru sebagai menantu. Entah kenapa, di kampung itu ustadz muda selalu saja jadi idola. Disanjung-sanjung, dipuja-puja dan ujung-ujungnya dilamar untuk jadi menantu. Apa istimewanya lelaki penyandang ‘gelar’ ustadz? Ustadz tentu orang yang menguasai ilmu-ilmu agama. Mulia akhlaknya.
Santun budi pekertinya. Terpuji moralnya. Singkatnya, ustadz adalah lelaki “baik-baik”. Lelaki baik-baik tentu bakal wariskan keturunan yang baik pula. Anak-anak sholeh yang taat beribadah, patuh dan berbakti pada ibu-bapak. Jangan heran jika seorang ustadz punya istri lebih dari satu. Dua, tiga atau bahkan empat. Orang tak peduli berapa banyak perempuan yang telah dinikahinya. Tapi, berapa banyak ia telah mewariskan anak-anak sholeh. Gadis-gadis kampung pun rela dimadu, asal suaminya lelaki bergelar ustadz. O, betapa beruntungnya menjadi ustadz!
“Ibu
sudah melamar ustadz itu untukmu. Pulanglah!”
“Ustadz? Nisa bukan perempuan yang layak jadi istrinya. Nisa bukan ustadzah,
bu!”
“Justru karena bukan ustadzah, kau perlu lelaki yang bakal membimbingmu di
jalan agama”
“Ingat! Umurmu sudah lanjut. Kau harus menikah”
Annisa pun pulang kampung. Mana mungkin ia menolak kehendak ibunya yang menggebu-gebu ingin bermenantu ustadz Andaru. Lagi pula, ia memang mesti segera menikah. Bila tidak, usia produktifnya bakal lewat. Akibatnya bisa fatal. Annisa akan sulit dapat keturunan, atau tidak punya anak sama sekali. Jadi, ia tidak terlalu memikirkan betapa mujurnya bersuami ustadz Andaru. Menikah hanya karena sudah kepingin punya anak.
Setelah pesta pernikahan besar-besaran diselenggarakan (waktu itu Annisa hanya dapat cuti tiga hari), Andaru dan Annisa berangkat ke Jakarta. Itu kali pertama Andaru menginjakkan kaki di ibukota yang dulu hanya dilihatnya di layar TV, sekaligus pengalamannya naik pesawat terbang (juga) untuk kali pertama. Andaru mengalah untuk tidak bertahan di kampung, karena Annisa tak mungkin meninggalkan pekerjaannya di Jakarta. Adakalanya suami ikut istri, bukan istri saja yang melulu ikut suami.
***
Tak ada lagi yang memanggilnya ; “ustadz”. Tak ada undangan untuk jadi khatib Jum’at. Tak ada wirid, majelis ta’lim dan pengajian rutin. Maka, tak ada honor. Andaru menganggur. Ia sudah berusaha mendekati mesjid. Selalu shalat berjamaah di mesjid dekat rumah kontrakannya. Berlama-lama di sana. Cari-cari kesempatan untuk memberitahu jama’ah bahwa ia adalah ustadz. Kadang, satu jam sebelum Maghrib Andaru sudah berada di mesjid. Diam-diam ia berharap Imam mesjid sakit, lalu ada pengurus yang tawarkan kesempatan jadi imam, atau setidaknya jadi muazzin. Tapi, tak pernah terjadi. Imam mesjid selalu ada. Begitu pun ustadz yang mengisi jadwal kultum dan pengajian rutin. Andaru benar-benar kesusahan. Sulit beroleh pengakuan sebagai mubaligh. Lagi pula, ustadz-ustadz yang biasa tampil di mimbar khutbah bukan orang-orang sembarangan. Rata-rata mereka sarjana jebolan universitas di Timur Tengah. Sementara Andaru hanya “mantan” ustadz jebolan pesantren kampung.
“Menjadi
mubaligh di Jakarta, tak cukup dengan ijazah pesantren” ketusnya pada Annisa.
“Sudahlah bang! Jangan terlalu risau. Abang kan bisa cari kerjaan lain”.
“Keahlianku hanya berdakwah”
“Iya deh. Sabar dulu ya”
Sejauh ini, Andaru memang masih aman. Meski lama menganggur, bukankah istrinya bekerja?. Semua kebutuhan Annisa yang atasi. Bayar kontrakan, biaya hidup sehari-hari, rekening listrik, apa saja. Andaru tahu beres. Tapi sampai kapan? Bagaimana kalau Annisa hamil? Punya anak? Tentu Annisa akan berhenti kerja, setidaknya mesti cuti.
“Aku
belum mau punya anak. Bakal repot jadinya nanti” batin Andaru.
“Aku harus kerja dulu sebelum Annisa hamil”
“Tapi, kerja apa?”
Andaru
enggan beralih cari pekerjaan lain. Guru privat baca Qur’an atau guru bahasa
Arab, misalnya. Bukankah itu juga bidangnya? Itu tak dilakukannya. Mungkin
karena ia sudah terbiasa cari uang dengan bekerja sebagai mubaligh. Meski
sulit, Andaru tetap berusaha cari kesempatan tampil di mimbar khutbah.
Menurutnya, sekali dapat peluang berkhutbah, undangan bakal berdatangan. Tapi,
sampai kapan ia mesti menunggu?
Ia hanya bisa berdoa agar Tuhan tak mengaruniai mereka keturunan. Dalam
tahajjud, Andaru menadahkan tangan, bermohon agar benih yang telah tertanam di
rahim Annisa jangan tumbuh dulu. Doa Andaru bukannya minta petunjuk bagaimana
cara agar ia dapat meraih obsesi : kembali jadi mubaligh, tapi doa penolak
datangnya keturunan. Doa penolak rejeki.
***
Belum ada tanda-tanda kehamilan Annisa. Ia masih datang bulan. Barangkali kelelahan? Atau perlu memeriksakan diri ke dokter kandungan? Ah, tidak!. Tak ada kelainan di rahimnya, begitu pun tak ada yang ganjil pada organ reproduksi Andaru.
“Bila
tak ada kelainan. Bulan pertama pernikahan, mestinya sudah isi” kata Rinjani,
teman kerjanya.
“Mungkin belum saatnya, Nisa”
“Iringi saja usaha kalian dengan doa!” tambah Rinjani lagi.
Sebelum dan seusai bercinta, Annisa khusyu’ berdoa. Semoga benih-benih itu segera bersitumbuh. Semoga ia telat datang bulan, ngidam, dan bunting. Tiap selesai shalat, tak henti-hentinya Annisa memohon agar Tuhan menganugerahinya bayi. Bayi yang sudah lama dirindukannya. Ia juga makin sering bangun tengah malam. Bertahajjut. Lagi-lagi menadahkan tangan. Tak ada doa yang dilafalkan Annisa selain permohonan agar ia segera beroleh keturunan.
“Bila
kau sudah hamil, ibu akan ke Jakarta, menemanimu. Bagaimana kabarmu? Belum
telat juga?” kata Ibunya di ujung telpon.
“Belum, bu”
“Mungkin kecapaian. Istirahat yang banyak. Jangan diporsir tenagamu!”
“Ibu selalu doakan agar kalian cepat dapat momongan”
“Bagaimana dengan Andaru? Sudah mulai sibuk berkhutbah ya?”
Begitulah. Annisa terus berdoa mengharap kehadiran bayi. Sementara Andaru juga bermohon agar Tuhan tak beri ia keturunan. Sekhusyu’-khusyu’-nya Annisa bermohon agar Tuhan turunkan karunia, Andaru jauh lebih khusyu’ hendak menunda datangnya karunia itu. Menolak anugerah. Entah doa siapa yang bakal terkabul kelak.
“Hampir
enam bulan usia pernikahan kita, kenapa Nisa belum hamil juga ya bang?” tanya
Annisa, penuh harap.
“Sabar, mungkin belum rejeki kita,” bisik Andaru.
Kelapa Dua, 2005
Cerpen ini pernah di muat di Suara Karya, Edisi 02/19/2006 dimuat kembali di situs ini demi kepentingan edukasi.
Leave a Review