Oleh: Nuzul Iskandar
“Sanad keilmuan itu bukan hanya penting, tapi juga tidak perlu.” Kalimat ini membingungkan? Betul, tapi itulah yang bisa saya simpulkan dari dua pernyataan Ustaz Dasman Yahya di dua video ceramahnya.
Video pertama berjudul “Ketika Bicara Sanad Diluar Ilmunya“, ditayangkan oleh akun Facebook “Kampar Mengaji TV“, berdurasi 4.45 menit. Video ini juga ditemukan di Youtube dengan nama channel yang sama dan judul yang sama, bahkan dengan kesalahan penulisan yang sama (“diluar” harusnya ditulis “di luar”. Hehe…).
Video kedua berjudul “Kitab Al-Ibanah: Rujuk Nya Akidah Imam Abul Hasan Asy’ari Rahimahullah”, berdurasi 3.08 menit, ditayangkan di akun Facebook “Kampar Mengaji TV” dan channel Youtube “Kampar Mengaji TV – KMtv”.
Di video kedua ini, Ustaz Dasman bicara tentang kitab al-Ibanah fi Ushul al-Diyanah karangan Imam Abu Hasan al-Asy’ari. Penjelasan dalam kitab ini memang seringkali disalahpahami, tapi tulisan ini tidak sedang membahas itu, melainkan tentang sanad keilmuan yang disinggung oleh Ustaz Dasman.
Di video pertama, Ustaz Dasman menyampaikan pernyataan-pernyataan yang menggambarkan betapa sanad keilmuan itu adalah sesuatu yang amat penting. Berikut pernyataan beliau di video ini:
“Jadi, sanad itu bukan asal ketemu. Ia harus ada riwayatnya. Kemudian ada orang yang muqillin dan muktsirin. Ada yang banyak riwayatnya ada yang sedikit. Yang banyak riwayatnya, diperiksa lagi: banyak yang sesuai atau tidak sesuai? Kalau banyak sesuai, berarti insyaallah minimal shaduq. Tapi kalau lebih banyak tidak sesuainya, berarti katsirul awham. Dan bila tidak sesuainya sengaja dipalsukan, berarti kadzab.”
Kalimat pertama “jadi, sanad itu bukan asal ketemu. Ia harus ada riwayatnya” memberikan pemahaman bahwa sanad merupakan sesuatu yang penting. Saking pentingnya, ukuran bersanad itu bukan asal sudah bertemu semata, tetapi si murid harus meriwayatkan suatu ilmu yang jelas dari guru yang ditemuinya itu.
Kalimat “yang banyak riwayatnya, diperiksa lagi” sampai seterusnya, menunjukkan bahwa bersanad itu tidak boleh asal-asalan, tapi harus mengedepankan kebenaran, kejujuran, dan kesahihan. Sekadar bertemu guru belumlah cukup, tapi harus menerima/meriwayatkan ilmu yang jelas dari guru itu, lalu ilmunya dipahami dan dicerna dengan jelas.
Kalimat Ustaz Dasman berikutnya memberikan penguatan terhadap keterangan di atas:
“Jadi, ndak sembarangan sanad ini. Orang kan ingin menjadikan masalah sanad ini sederhana saja. Asal ketemu, sudah bersanad. Kalau itu, banyak yang klaim nanti. Nanti Abu Jahal diklaim bertemu Rasulullah, Abu Thalib bertemu Rasul, Abdullah bin Ubai lama sama Rasul.
Sanad itu bukan sekadar bertemu, bukan sakedar berguru. Tsabit berguru? Betul. Tapi, mana yang ia riwayatkan dari gurunya. Kan itu sebetulnya.”
Perhatikan kalimat pertama dan kedua dalam kutipan di atas, “jadi, ndak sembarangan sanad ini. Orang kan ingin menjadikan masalah sanad ini sederhana saja.” Kalimat ini menunjukkan bahwa Ustaz Dasman memberikan penegasan bahwa sanad itu merupakan sesuatu yang teramat penting, sehingga tidak boleh sembarangan dan disederhanakan begitu saja.
Nah, mari cermati video kedua. Di sini Ustaz Dasman mengeluarkan pernyataan:
“Katanya harus bersanad, ya, padahal sanad sekarang ndak butuh lagi. Kita sudah melalui kitab. Bangga pula sanad banyak. Untuk apa sanad banyak kalau isinya orang-orang masturin, orang-orang majhulin, bahkan mungkin kazzabin”
Di pernyataan ini ada kalimat eksplisit “padahal sekarang sanad ndak butuh lagi”. Ustaz Dasman dengan gamblang menyatakan bahwa sanad keilmuan tidak dibutuhkan lagi sekarang. Alasannya, karena sudah ada kitab.
Makna pernyataan beliau di video kedua ini jelas bertolak belakang dengan makna pernyataannya di video pertama. Perhatikan sekali lagi pernyataan di video pertama: “jadi, ndak sembarangan sanad ini.” Kalimat ini berarti menuntut adanya keseriusan: sanad yang serius dan serius dalam bersanad. Apalagi dibarengi dengan ungkapan “orang kan ingin menjadikan masalah sanad ini sederhana saja,” ini menunjukkan betapa urusan sanad itu tak boleh serampangan dan digampang-gampang saja. Tapi alangkah jenakanya ketika di video kedua muncul pernyataan “padahal, sanad sekarang ndak butuh lagi. Kita sudah melalui kitab.”
Baca Juga: Hakikat Ijazah dan Sanad Bukan tentang Secarik Kertas, Tapi Warisan Ilmu Kenabian
***
Kalimat beliau berikutnya (di video kedua), “bangga pula sanad banyak. Untuk apa sanad banyak kalau isinya orang-orang masturin, orang-orang majhulin, bahkan mungkin kazzabin,” ini berisi sindiran atau ejekan bagi seorang atau kelompok tertentu.
Siapakah orang atau kelompok yang disindir atau diejek itu? Kembalikan saja ke pokok persoalan, yaitu orang-orang yang mempertahankan prinsip bahwa transmisi keilmuan agama itu harus diriwayatkan melalui sanad yang jelas dan sahih. Siapakah mereka? Itulah ulama Ahlussunnah Waljamaah yang keilmuannya terjalin dari masa ke masa, dari guru ke guru, melalui sanad dengan rantai yang jelas, baik zahir maupun batin, baik dalam lafaz kaji maupun makna kaji.
Di balik sindiran itu ada satu lagi: Ustaz Dasman Yahya sedang membela satu atau sekelompok orang yang menganggap dirinya ulama, tapi meremehkan sanad keilmuan. Siapakah dia atau mereka yang dibelanya itu?
Tidak ada pernyataan eksplisit dalam video ceramah itu tentang siapa yang dibela oleh Ustaz Dasman. Namun, jika mencermati dinamika beberapa waktu belakangan, ada tokoh yang sering dikritik oleh para ulama Ahlussunnah Waljamaah di seluruh dunia perihal ini, yaitu Syekh Nasiruddin al-Albani (w. 1999), pengkaji hadis yang karyanya luar biasa banyak, tapi sayang sanad keilmuannya sering dipertanyakan dan dikeragui oleh para ulama.
Bahkan, ada ulama yang berpendapat bahwa Syekh Albani tidak memiliki guru dalam bidang hadis. Ia belajar hadis hanya dengan mengandalkan buku-buku di perpustakaan selama bertahun-tahun. Kritik ini memang sudah dibantah oleh sejumlah ulama yang setuju terhadap Albani. Di Indonesia, misalnya, ada Ustaz Zulkifli Muhammad Sanusi yang (dalam video ceramahnya) menyatakan bahwa Syekh Albani itu sebenarnya punya guru dalam bidang hadis, tapi diakui bahwa gurunya tidak banyak alias sedikit.
Ada guru, tapi tidak banyak. Namun, karyanya amatlah banyak. Ini poin pentingnya. Mengapa?
Jika mengacu pada standar keilmuan hadis yang dilestarikan sejak zaman salafus shaleh, karya yang banyak mestinya berimbang dengan jumlah guru. Imam Bukhari punya guru sampai 1.500-an orang. Imam al-Hakim al-Naisaburi lebih banyak lagi, gurunya mencapai 2.000 orang. Ulama-ulama hadis sejak zaman salaf rata-rata punya guru sampai ratusan bahkan ribuan.
Itulah sebabnya, karya-karya Albani diragukan oleh banyak ulama di dunia. Gurunya sedikit, tapi karyanya kok bisa banyak? Dari mana datangnya? Bagaimana sanad keilmuannya? Karena itu, ada banyak ulama besar yang sengaja menulis kitab khusus untuk meluruskan kekeliruan Syekh Albani dalam karya-karyanya. Di antaranya adalah Syekh Mahmud Said Mamduh, ulama hadis terkemuka, murid terbaik Syekh Yasin al-Fadani sang musnid ad-dun-ya.
Baca Juga: Syekh Muhammad Yasin Padang: Tokoh Kunci Sanad Keilmuan Islam Kontemporer
Nah, di sini ada indikasi bahwa Ustaz Dasman sedang membela Syekh Albani yang guru dan sanadnya amat sedikit itu dengan kalimat kamuflase “bangga pula sanad banyak. Padahal, sanad sekarang ndak butuh lagi. Kita sudah melalui kitab.”
Prof. Said Agil Husin al-Munawar dalam satu seminar pernah berujar (kira-kira): siapa itu Albani? Kok bisa-bisanya dia men-sahih-kan dan men-dha’if-kan hadis? Ini bukan urusan gampangan. Ulama-ulama dulu harus bekerja sangat keras untuk bisa men-tashih hadis. Kalau ada mahasiswa bimbingan saya mengutip hadis yang katanya di-tashih oleh Albani, saya suruh hapus itu kutipan di disertasinya. Gak bisa Albani men-tashih hadis!
Justru anda yg tdk paham dgn perkataan ustadz dasman. Atau mungkin sengaja menggiring opini bahwa ust dasman meremehkan sanad. Atau mungkin anda memang tajassus mencari celah kesalahan ust dasman. Wallaahu a’lam
kami tunggu tulisan lengkap anda sebagai bantahan atas tulisan Nuzul Iskandar ini.