scentivaid mycapturer thelightindonesia

Ustaz Dasman Yahya Meremehkan Sanad Ilmu dan Mengingkari Akal Sehatnya Sendiri (Bagian 2)

Ustaz Dasman Yahya Meremehkan Sanad Ilmu dan Mengingkari Akal Sehatnya Sendiri Bagian 1

Sebelumnya Baca Ustaz Dasman Yahya Meremehkan Sanad Ilmu dan Mengingkari Akal Sehatnya Sendiri Bagian 1

Sekarang, lupakan dulu ceramah Ustaz Dasman Yahya. Kita beralih sejenak ke cerita lain. Ini cerita tentang pikiran yang terkilir. Sedikit, memang. Tapi yang namanya terkilir, walau sedikit, tetaplah tak sehat.

Begini, jika ada ungkapan, “makanan kita harusnya tidak sekadar halal, tetapi juga baik”, maka itu artinya: unsur halal sekaligus baik itu penting diperhatikan dalam makanan. Jangan sekadar halal tapi tidak baik; atau sekadar baik tapi tidak halal.

Kalau dimunculkan pertanyaan (berdasarkan pernyataan tadi): apakah makanan halal itu penting? Jawabnya tentu: iya. Lalu, apakah makanan baik itu penting? Jawabnya sama: iya.

Begitu kalau pikiran yang sehat mencerna sebuah pernyataan, kemudian menjawab pertanyaan berdasarkan pernyataan itu.

Nah, kalau pikiran terkilir akan menjawab dengan cara berbeda. Kalau ia diberi pernyataan bahwa “makanan kita harusnya tidak sekadar halal, tetapi juga baik”, lalu didatangkan pertanyaan: apakah makanan yang halal itu penting? Ia akan menjawab: tidak, yang penting baik. Begitulah.

Kalau dikemukakan lagi satu pernyataan, misalnya “menutup aurat dalam shalat itu bukan asal ada pakaian saja, tapi harus pakaian yang suci”, lalu kedua tipe orang di atas diminta membuat kesimpulan, maka si pikiran lurus akan menyimpulkan: menutup aurat itu dengan pakaian yang suci. Namun, si pikiran terkilir akan membuat kesimpulan: tidak perlu pakaian, yang penting suci!

Nah, di manakah sifat “suci” itu dilekatkan kalau bukan pada pakaian? Mungkinkah ia ada sendiri tanpa ada benda konkret sebagai tempatnya? Persis di situ letak terkilirnya!

Kalau ada yang mendebat: penutup aurat itu kan bisa saja bukan berupa pakaian? Karung goni atau kertas yang suci, kan juga bisa? Nah, ini terkilir jenis yang lain lagi, karena yang dimaksud oleh cerita di atas adalah hubungan pernyataan dengan pertanyaan dan jawabannya, bukan dengan pernyataan yang di luar dari itu!

***

Kembali lagi ke soal sanad keilmuan. Ada banyak pernyataan ulama salafus shaleh yang menekankan pentingnya sanad itu. Pernyataan mereka tentu didukung oleh dalil berupa hadis.

Abdullah bin al-Mubarak, ulama tabi’ tabi’in (generasi ketiga setelah Nabi) mengatakan:

اَلإِسْنَادُ مِنَ الدِّيْنِ وَلَوْلَا الإِسْنَادُ لَقَالَ مَنْ شَاءَ مَا شَاءَ

[Sanad itu bagian dari agama. Kalau tidak ada sanad, siapaun akan berkata sekehendak hatinya saja]

Ungkapan ini, saking pentingnya, dinuqil oleh Imam al-Nawawi dalam Syarah Sahih Muslim.

Imam Sufyan al-Tsauri, generasi tabi’ tabi’in, juga mengingatkan:

اَلإِسْنَادُ هُوَ سِلَاحُ المُؤْمِنِ. فَإِذَا لَمْ يَكُنْ مَعَهُ سِلَاحٌ فَبِأَيِّ شَيْءٍ يُقَاتِلُ؟

[sanad adalah senjata orang mukmin. Kalau tidak punya senjata, dengan apa ia berperang?]

Imam Syafi’i turut mengingatkan: siapa yang brlajar/memahami agama hanya melalui buku-buku atau kitab-kitab, maka dia akan menyia-nyiakan hukum.

Ustaz Dasman biasanya selalu mengajukan pertanyaan, “adakah dalilnya?” atau “mana dalilnya?” Ini ada hadis Nabi Saw.:

قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ تَسْمَعُونَ وَيُسْمَعُ مِنْكُمْ وَيُسْمَعُ مِمَّنْ يَسْمَعُ مِنْكُمْ

[kalian mendengarkan, lalu didengar orang dari kalian, lalu didengar dari orang yang pernah mendengarkan dari kalian]

Hadis ini diriwayatkan oleh Ibnu Abbas, dapat ditemukan dalam sejumlah kitab hadis, seperti Musnad Imam Ahmad, Mustadrak Ala Sahihain al-Hakim, Sahih Ibnu Hibban, Sunan Abu Daud, dan Sunan Baihaqi.

Toh kalau dicermati, semua proses periwayatan hadis secara langsung dari Nabi kepada sahabat itu adalah dalil atas pentingnya sanad dalam keilmuan. Nabi justru tidak pernah mencontohkan periwayatan hadis melalui tulisan. Justru, kalau menggunakan nalar tekstualis yang kerap digunakan Ustaz Dasman Yahya, Nabi malah melarang sahabat menuliskan Hadis, dan bagi sahabat yang terlanjur menulisnya, disuruh hapus kembali oleh Nabi:

لَا تَكْتُبُوا عَنِّي غَيْر الْقُرْآن ، وَمَنْ كَتَبَ عَنِّي غَيْر الْقُرْآن فَلْيَمْحُهُ

[jangan tulis dariku selain Alquran. Siapa yang menuliskan selain Alquran, agar dihapus]

Hadis ini diriwayatkan oleh Imam Muslim, dari Abu Sa’id al-Khudri.

***

Redaksi, teks, dan aksara memang bisa dilihat langsung di kitab atau buku, tetapi makna, maksud, dan rasa (dzauq) seringkali tersembunyi di balik teks. Teks seringkali tidak cukup mampu untuk menampu itu semua. Karena itu, dibutuhkan guru yang sanadnya bersambung sampai ke Rasulullah untuk menyibakkan tabir teks sehingga kita bisa sampai pada makna, maksud, dan rasa tersebut. Itulah sanad.

Bayangkan, bagaimana belajar agama yang paling dasar saja, ilmu tajwid, misalnya, tanpa guru atau sanad yang jelas. Bagaimana membedakan bunyi huruf sin (س), tsa (ث), sya (ش), dan sha (ص) kalau tanpa bimbingan guru dan hanya mengandalkan buku-buku? Itu baru untuk kelimuan yang paling dasar. Bayangkan untuk keilmuan yang lebih rumit, kompleks, dan butuh ketelitian ekstra.

Sekarang, kalau kalimat pertanyaan tadi boleh dikembalikan ke si empunya: ADAKAH DALIL YANG MENYATAKAN BAHWA KEILMUAN DALAM ISLAM ITU TIDAK PERLU BERSANAD LANGSUNG TAPI CUKUP DENGAN KITAB? Tolong tunjukkan satu saja dalil, baik Alquran maupun Hadis, yang eksplisit menyatakan bahwa sanad ilmu itu tidak penting lagi, tapi cukup melalui kitab!

Sekalian saya kembalikan pertanyaan-pertanyaan lain yang sering dilontarkan Ustaz Dasman Yahya dalam ceramah-ceramahnya:

– Adakah belajar dari kitab itu dicontohkan oleh Nabi? Kalau tidak, mengapa Ustaz lakukan?

– Apakah Nabi tidak tahu bahwa belajar dari kitab itu baik?

– Kalau belajar dari kitab itu baik, tentu sudah Nabi contohkan dari dulu. Tapi apakah Nabi mencontohkannya?

– Apakah Ustaz Dasman merasa lebih tahu dan lebih hebat dari Nabi, sehingga berani melakukan sesuatu yang tidak pernah dicontohkan oleh Nabi?

Nuzul Iskandar
Alumni Madrasah Tarbiyah Islamiyah Candung. Pernah aktif sebagai peneliti di Smeru Research Institute. Sekarang Dosen Hukum Islam di IAIN Kerinci Jambi