Berawal dari membaca sebuah buku berjudul Mustaqbaluka fi Yadika, Mata ‘Arafta Nafsaka? (Masa Depan Berada di Tanganmu, Kapan Kamu Mengetahui Jati-Dirimu?) karya seorang ulama Nusantara bernama Syekh Abdul Hamid al-Khatib. Ia merupakan anak Syekh Ahmad Khatib Minangkabau yang sebenarnya secara kewarganegaraan sudah menjadi warga Kerajaan Arab Saudi, dimana ia pernah menjadi duta besar pertama negara Arab itu sejak berdirinya untuk negara Pakistan. Selain itu, ia juga sama seperti ayahnya menjadi guru besar di halaqah Masjidil Haram. Pada era pergantian dan peralihan kekuasaan dari Belanda ke Indonesia, ia menjadi wakil Kerajaan Arab Saudi yang diutus ke Indonesia.
Ia mengatakan bahwa al-Qur’an sendiri telah berbicara tentang wabah melalui kisah sebuah kaum yang lari dari daerahnya ke daerah lain yang tidak terdampak wabah. Dalam hal ini, ayat yang dimaksud adalah surah al-Baqarah ayat 243 yang berbunyi:
أَلَمْ تَرَ إِلَى الَّذِينَ خَرَجُوا مِن دِيَارِهِمْ وَهُمْ أُلُوفٌ حَذَرَ الْمَوْتِ فَقَالَ لَهُمُ اللَّهُ مُوتُوا ثُمَّ أَحْيَاهُمْ ۚ إِنَّ اللَّهَ لَذُو فَضْلٍ عَلَى النَّاسِ وَلَٰكِنَّ أَكْثَرَ النَّاسِ لَا يَشْكُرُون
(Apakah kamu tidak memperhatikan orang-orang yang keluar dari kampong halamannya, sedang mereka beribu-ribu –jumlahnya- karena takut mati. Maka Allah swt berfirman kepada mereka “matilah kamu”, kemudian Allah swt menghidupkan mereka. Sesungguhnya Allah swt mempunyai karunia terhadap manusia, tetapi kebanyakan manusia tidak bersyukur). (Qs. al-Baqarah: 243)
Baca Juga: Wabah Thaun Tahun 749 H Versi Imam ibnu Kasir al-Dimasyqi 701-774 H
Menurut Imam al-Khazin dalam tafsirnya Lubab al-Ta’wil fi Ma’ani al-Tanzil (cetakan Al-Mathba’ah al-Maimaniyah, vol. 1, hal. 172. Kitab ini merupakan milik Syekh Muhammad Zain Batubara yang ia beli pada tahun 1325 H / 1907 M sewaktu menjadi santri di Makkah), mayoritas ulama tafsir berpendapat bahwa kampung tersebut bernama Dawardan yang terdampak wabah tha’un. Begitu juga pendapat yang sama dari ulama-ulama tafsir lainnya, seperti pendapat Imam Muqatil bin Sulaiman dalam karyanya Tafsir Muqatil bin Sulaiman (cetakan Dar al-Kutub al-Arabiyah, vol. 1, hal. 128), Az-Zamaksyari dalam karyanya al-Kasysyaf ‘am Haqa’iq al-Tanzil wa ‘Uyun al-Aqawil fi Wujuh al-Ta’wil (cetakan Maktabah Mishr, vol. 1, hal. 260), Imam al-Qurthubi dalam karyanya al-Jami’ li Ahkam al-Qur’an (cetakan Maktabah al-Shafa, vol. 1, hal. 174), Imam Ibnu Kasir dalam karyanya Tafsir al-Qu’ran al-Azhim (cetakan Al-Maktabah al-Taufiqiyah, vol. 1, hal. 406), Imam Al-Baidhawi dalam karyanya Anwar al-Tanzil wa Asrar al-Ta’wil (cetakan Mathba’ah al-Maimaniyah, vol. 1, hal. 93. Kitab ini juga milik Syekh Muhammad Zain Batubara), dan Syekh Abdul Hamid al-Khatib dalam karya tafsirnya Tafsir al-Khatib al-Makki (cetakan Mathabi’ Dar al-Fikr al-Islami bi Dimasyqa, vol. 2, hal. 78.
Secara umum, mereka sepakat mengatakan bahwa dahulu ada sebuah kampung Bani Israel yang bernama Dawardan yang penduduknya terdampak wabah tha’un, sehingga sebagian besar penduduknya keluar dari daerah mereka ke daerah lain yang tidak terjangkit sebagai bentuk pelarian dari wabah tersebut dan meyakini bahwa tempat yang dituju mereka akan menemukan keselamatan. Ketika sampai ke lembah atau tempat tujuan, dua malaikat; yang satu di atas lembah dan lainnya di bawah, berteriak secara keras (shaha) sehingga mereka yang jumlahnya puluhan ribu meninggal langsung. Setelah beberapa lama –ukuran lamanya berbeda antara para ulama tafsir-, tetapi orang-orang yang meninggal tersebut cukup lama, sebab sudah menjadi tulang-belulang yang terpisah-pisah- lewat atas tempat mereka ini seorang nabi Bani Israel yang bernama Hazakel yang tak lain adalah nabi Zulkifli. Hazakel adalah nabi ketiga Bani Israel setelah nabi Musa bin Imran, Yusyu’ bin Nun (seorang murid nabi Musa yang dibawa ketika berjumpa kepada Khidir), Kalib bin Yuqana dan Hazakel. Ia dinamakan Zulkifli karena mengasuh 70 nabi dan menyelamatkan mereka dari pembunuhan. Ia (nabi Zulkifli as) berdoa kepada Allah swt agar mereka dihidupkan kembali, dan atas izin dan kekuasaan Allah swt mereka dihidupkan kembali.
Kisah mereka ini menurut Syekh Abdul Hamid al-Khatib sangat masyhur dan terkenal karena al-Qur’an sendiri menggunakan kalimat “alam tara” (tidakkah kamu ketahui?). Menurut Imam al-Qurthubi, kalimat “alam tara” menunjukkan pengertian penglihatan hati yang berarti “apakah kamu tidak mengetahui” dan kalimat ini tidak membutuhkan 2 objek (maf’ulain).
Baca Juga: Samakah Wabah Korona dengan Thaun?
Kesimpulan yang disebutkan Imam al-Qurthubi dalam tafsirnya adalah sebagai berikut:
1. Kata tha’un berbentuk fa’ul dari kata aslinya yaitu tha’n. kata asli tersebut diubah menjadi tha’u untuk menunjukkan pengertian kematian umum dengan wabah.
2. Berdasarkan hadis nabi saw: (terjemahannya) “kalau kamu mendengarnya ada di sebuah daerah maka hendaklah jangan mendatanginya, namun kalau ia ada sementara kamu di dalamnya, hendaknya jangan keluar” secara hukum dimakruhkan keluar dari daerah yang terdampak wabah, sebagaimana kisah wabah Amwas dalam zaman Umar bin Khattab ra.
3. Tidak ada riwayat menyebutkan orang-orang yang diberikan ilmu, mereka lari dari wabah ini kecuali dua orang saja.[]
Medan
Redaksi tarbiyahislamiyah.id menerima tulisan berupa esai, puisi dan cerpen. Naskah diketik rapi, mencantumkan biodata diri, dan dikirim ke email: redaksi.tarbiyahislamiyah@gmail.com
Leave a Review