scentivaid mycapturer thelightindonesia

Wajah Aswaja di Kampung Saya

Wajah Aswaja di Kampung Saya

Wajah Aswaja di Kampung Saya baik Muhammadiyah maupun NU sama-sama diterima. Toh sama-sama Aswaja.


Sebelumnya Baca Menulis dari Kampung (1) Pancasila di Motor Orang ke Ladang

Oleh: Raudal Tanjung Banua

Tiap kali datang bulan Ramadhan dan lanjut Lebaran, saya biasa menelepon orang rumah dari Yogya, sekadar bertanya kapan mulai berpuasa dan berhari raya. Itu jika antara hilal NU dan penanggalan Muhammadiyah jatuh pada hari berbeda. Dan pemerintah mengambil salah satu sebagai ketetapannya. Biasanya tergantung menteri agama dari ormas mana.

Puasa tahun kemarin misalnya (2022 m/1443 h) orang kampung saya mulai bershaum ikut Muhammadiyah. Atau sehari sebelum jadwal NU yang kemudian dipakai secara resmi oleh Kemenag RI. Kebetulan Lebarannya jatuh bersamaan.

Lewat kebiasaan tahunan itu mudah bagi kita menandai bahwa orang kampung saya– atau kampung-kampung setipe– adalah pemeluk teguh Muhammadiyah. Namun jika diselidik lebih lanjut, akan kita temui hal-hal menarik.

Sumatera Barat merupakan salah satu basis Muhammadiyah terbesar di luar Jawa. Tokoh besar Haji Rasul, yang mula membawa Muhamadiyah ke Minangkabau, dan dilanjutkan putranya, Hamka, seolah jadi garansi soal itu. Belum lagi seorang anak-jati Minang yang baru berpulang, Buya Syafii Maarif, pernah menjadi pimpinan pusat Muhammadiyah.

Amalan-amalan Muhammadiyah cocok dengan aktivitas keseharian orang Minang yang banyak jadi pedagang. Mereka perlu amalan cepat, praktis, dan barokah.

Saya pernah ikut Mubes keluarga Minang di TMII Jakarta. Tiap datang waktu shalat, peserta berjemaah di masjid tak jauh dari aula. Begitu selesai, berdoa sebentar, masing-masing bangkit dan kembali beraktivitas. Suatu kali saya melihat sang imam masih berzikir. Maka saya menggamit paman saya (seorang purnawirawan yang mengajak saya ikut Mubes) untuk ikut sang imam. Jawabnya,”Imam hanya memimpin kita saat shalat berjemaah, setelah selesai, amalannya kita jalani sendiri.”

Itu satu gambaran kepraktisan. Gambaran lain, bisa dilihat dari cara jualan kuliner Minang. Sate Padang, misalnya (ada juga sate Piaman, Padangpanjang atau Danguang-Danguang), cara jualannya praktis. Daging sate sudah matang, sehingga ketika ada pembeli, sate tinggal disiram kuah panas. Tak sampai tiga menit sate sudah terhidang. Bandingkan dengan sate Madura yang harus kipas-kipas bara hampir seperempat jam.

Jadi saudagar Minang cocok dengan saudagar Muhamadiyah. Begitu kira-kira.

Tapi benarkah sesederhana itu? Ternyata tidak juga. Setidaknya di kampung saya, Kecamatan Sutera, Kabupaten Pesisir Selatan. Amalan Ahlussunnah Waljamaah (Aswaja) punya wajah berbeda yang boleh jadi potret dari wajah-wajah sejenis, di lain daerah.

Meski ikut Muhammadiyah dalam menentukan awal puasa, atau urusan-urusan formil lainnya, amalan-amalan warga kampung saya sangat NU. Zikir, shalawat, tahlil, ziarah, qunut, lengkap semua.

Zikir mereka panjang-panjang dan lama. Shalat berjemah selalu diakhiri dengan ratib bersama-sama. Dalail Khairat sering dibacakan dengan irama serupa orang berdendang. Ada juga ritual ratib tegak dan ratib tolak bala pada momen tertentu.

Tapi dalam hal ziarah kubur, mereka kurang fanatik. Kubur keluarga yang meninggal termasuk jarang diziarahi. Karena itulah pandam pakuburan (pemakaman umum) sering bersemak, dan baru dibersihkan secara gotong royong menjelang masuk Ramadhan. Hanya uniknya, ziarah ke makam keramat, yang dipercaya sebagai makam ulama (kadang anonim), cukup fanatik. Makam itu disebut “tampat”. Setidaknya ada empat “tampat” yang sering dikunjungi di tempat saya: tampat Langgai, Gunung Rajo, Sangguliang dan Pandakian.

Sebagian lain, rutin ziarah ke makam guru besar Satariyah, Syekh Burhanuddin di Ulakan, Pariaman. Semasa hidup, nenek saya termasuk yang setia ke sana. Ritual basafa. Selain itu, kampung saya juga punya beberapa surau yang jadi tempat bersuluk orang-orang tua, termasuk nenek saya, meski setelah angkatan beliau banyak yang wafat, tradisi bersuluk mulai jarang.

Dalam kematian, ada ritual tahlilan manigo hari (3 hari), manujuah hari (7 hari), dan 21 hari. Setelah itu acara “malapeh-lapeh” (bisa 40 hari, 60, atau 100 hari). Sebelum masuk malam ke-21, tiap habis magrib tukang doa akan datang memimpin doa. Pasca 21 hari, sebelum resmi “malapeh-lapeh” tukang doa akan tiba tiap malam Jumat.

Sebagai penutup malam 21, paginya ada ritual menegakkan batu nisan. Puncaknya acara “malapeh-lapeh”. Doa dan tahlil besar-besaran orang sekampung. Bukan hanya masak nasi dan lauk, juga membuat kue dan lemang.

Pendeknya, amalan-amalan ala NU itu awet-lestari di kampung saya. Biarpun dulu, sesekali pernah juga terdengar semacam himbauan untuk tak makan-minum di rumah orang mati. Adagium yang sering dipakai adalah,”sudah jatuh tertimpa tangga”; sudah kemalangan ketimpa biaya. Tapi itu tak terlalu ditanggapi dan mereka yang menghimbau pun tak memaksakan. Akur-akur saja. Begitu juga soal rakaat shalat taraweh. Ada yang delapan, ada yang 21. Adem, tentram.

Sekarang saya tahu, yang menghimbau itu dulu adalah tokoh Muhammadiyah. Dan selidik punya selidik, saya pun tahu bahwa Muhammadiyah umumnya diterima di kota kecamatan, Pasar Surantih, yang punya sejumlah madrasah dan masjid raya. Pantas sosok yang dulu menghimbau untuk tak “makan-minum” di rumah duka, jika Jumatan mereka memilih pergi ke masjid raya Muhammadiyah (salah seorang di antaranya masih hitungan paman saya; seorang guru, adik sang purnawirawan).

Artinya, baik Muhammadiyah maupun NU sama-sama diterima. Toh sama-sama Aswaja.

Tapi saya pikir-pikir, penerimaan atas kedua ormas ini tak terlepas dari bingkai historis ormas ketiga, atau mungkin lebih tepat disebut ormas pertama: Perti.

Saya yakin dulu banyak warga mengikuti amalan Perti mengingat banyaknya penganut tarekat di kampung saya (yang terbesar Satariyah-Naqsabandiyah). Tarekat yang prakteknya disokong ulama “golongan tuo”, salah satunya Syekh Bayang, dari kabupaten saya.

Amalan Perti juga relatif dekat dengan NU, tapi punya struktur organisasi dan visi seperti Muhammadiyah. Misal dalam hal lembaga pendidikan dengan Madrasah Tarbiyah Islamiyah (MTI)-nya. Seiring melemahnya pengaruh Perti, amalan-amalannya menjadi semacam “transisi” (entah sebutan ini cocok) untuk menyatukan amalan NU-Muhammadiyah.

Tokoh Perti dan madrasahnya masih ada. Misalnya Buya Dalisman dengan MTI/PP Sabilul Jannah di Timbulun  Surantih, berdampingan dengan sekolah-sekolah dan masjid Muhammadiyah. Pesantren milik Perti juga tersebar di sejumlah kecamatan. Data dari Forum Komunikasi Pondok Pesantren Kab. Pesisir Selatan yang diketuai Buya Dalisman, jumlah pesantren berlatar Perti menyamai, jika bukan lebih banyak, daripada berlatar NU atau Muhammadiyah.

“Moksa”-nya Perti sebagai partai politik menjelang Pemilu 1971 (ditandai masuknya Sirajuddin Abbas ke Golkar), juga membuat orang kampung saya menoleh pada partai yang tak jauh-jauh dari garis Perti dulu; agamais-nasionalis. Zaman Orde Baru pilihannya ya, PPP. Tapi karena mantan pengurus Perti gabung ke Golkar, warga pun banyak mendukung Golkar.

Yang “menyedihkan”, seiring bubarnya Perti dalam politik, sebagai ormas pun akarnya perlahan tercerabut dari kampung saya. Alhasil, tokoh Perti yang tersisa “terpaksa” jadi pengurus NU atau mungkin Muhammadiyah.

Seorang kawan pengurus NU Pesisir Selatan (ia transmigran yang punya pondok pesantren di Lunang, asal Blora), cerita kepada saya bahwa pengurus NU di kabupaten saya ini, beberapa di antaranya berlatar Perti.

Tapi rasa “sedih” saya tak lama-lama. Saya bayangkan Perti seperti mamak-rumah, dan NU atau Muhammadiyah itu “urang sumando” dari Jawa. Jelas mereka sangat bisa bekerja sama. Wallahuallam bissawab.

Selanjutnya Baca Menulis dari Kampung (3): Glorifikasi PKS di Ranah Minang

Raudal Tanjung Banua
Raudal Tanjung Banua, lahir di Lansano, Kabupaten Pesisir Selatan, Sumatera Barat, 19 Januari 1975. Pernah menjadi koresponden Harian Semangat dan Haluan, Padang, kemudian merantau ke Denpasar, dan kini menetap di Yogyakarta. Buku puisinya Gugusan Mata Ibu dan Api Bawah Tanah. Sejumlah puisi di atas dipilih dari manuskrip buku puisinya yang sedang dalam persiapan terbit.