Diantara doa yang saya siratkan dalam tenang ialah ziarah ke maqbarah Mbah Kholil (Syekhona Khalil Bangkalan rahimahullah). Saya telah memikirkannya sejak pertengahan tahun lalu.
Bahkan pernah pernah utarakan kepada duo guru saya; buya Abdul Kamil dan Tarmidzi. Kala itu kami merencanakan ziarah ke Jawa-Madura. Namun karena ada aral melintang, rencana itu belum tertunaikan.
Lalu dalam perlawatan ke Sidogiri, Pasuruan, beberapa bulan lalu, menemani guru saya; Buya Ronald Andany, kembali direncanakan ziarah ke Maqbarah Mbah Khalil. Tapi juga tidak kesampaian.
Dan sesuatu yang tidak saya duga terjadi. Taqdir Allah swt membawa saya memasuki Jawa Timur untuk kali kedua. Tidak hanya itu, Allah Swt menugaskan bumi dan seluruh perangkatnya membawa saya dan kawan-kawan untuk menginjak tanah Madura.
Kesempatan ini sungguh nikmat yang luar biasa dan amat berharga. Meskipun hanya sempat benar-benar menginjakkan kaki, tapi bagi saya, itu saja sudah sangat berharga.
Menginjakkan kaki di tanah yang kata orang; di sini nyantri (menjadi anak siak) tidak mengenal usia. Memasuki daerah yang kata orang; watak masyarakatnya mirip dengan masyarakat Minang (asal saya). Utamanya sempat duduk menziarahi Mbah Khalil Bangkalan rahimahullah (Gurunya Ulama Jawa-Madura).
Duduk di samping Mbah Khalil (Sebab para ulama tetap hidup di kuburannya dalam keyakinan kita), saya benar-benar gugup. Saya mengucap salam berkali-kali. Khawatir salam saya belum benar-benar tepat. Lalu saya berusaha duduk tenang, sambil mengulang-ulang bacaan “Salamullah Ya Sadah”.
Setelah jantung saya mulai berdegup normal lagi, saya baca beberapa ayat al-Qur’an, sebelum memanjatkan doa-doa dengan bertawassul pada Mbah Khalil, di tengah gemuruh lantunan hajat peziarah.
Sebagai dokumentasi, kami berfoto di sini. Untuk dikenang di kemudian hari. Dalam rangka menceritakan nikmat Allah ta’ala.
Lalu kami balik lagi ke Surabaya, lewat jembatan Suramadu.
Leave a Review